Hikmah Haji Mewujudkan Persatuan Umat, Ukhuwah dan Kesadaran Politik

 Hikmah Haji Mewujudkan Persatuan Umat, Ukhuwah dan Kesadaran Politik

Hikmah ibadah haji

Allah SWT berfirman

وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ‎﴿٢٧﴾‏ لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ ‎﴿٢٨﴾

Dan serukan kepada manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir. (QS Al Hajj: 27-28)

Ibn Abbas dan Mujahid berkata: “yaitu manfaat dunia dan akhirat” (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim).

Adanya manfaat dari aspek politis, ideologis, perjuangan, dan sebagainya itu merupakan bagian dari apa yang disebut “hikmah haji”, yaitu manfaat-manfaat yang dapat dipersaksikan oleh jamaah haji saat mereka menunaikan haji.

Ayat ini menunjukkan, dalam ibadah haji kaum Muslimin akan mendapatkan berbagai manfaat yang sangat strategis dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam aspek politik (Ali bin Nayif As-Syahud, Al-Khulashah fi Ahkam al-Hajj wa al-Umrah, hlm.2)

Diantara Hikmah Ibadah Haji adalah:

1. Membangkitkan Kesadaran Persatuan Umat
2. Mewujudkan Makna Ukhuwah Yang Hakiki
3. Membangkitkan Kesadaran politik dan perjuangan

Membangkitkan Kesadaran Persatuan Umat

Umat Islam dari seluruh pelosok dunia berkumpul untuk melakukan ibadah yang sama, zikir yang sama, di tempat yang sama dan dengan busana ihram yang sama; tanpa mempedulikan lagi batasan negara bangsa (nation state), perbedaan suku, warna kulit, bangsa, dsb.Perwujudan karakter umat yang satu itu tiada lain karena adanya tali pengikat yang satu di antara mereka, yaitu agama Islam. Maka Allah SWT berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai (QS Ali Imran [3]: 103).

Sementara faktor lainnya baik suku, warna kulit, bangsa, dsb, sesungguhnya bukanlah faktor pemersatu dan tidak layak menjadi faktor pemersatu. yang layak dan yang bisa menyatukan kaum muslim adalah agamanya dan keimanannya.

Persatuan umat Islam merupakan kewajiban mutlak dalam segenap aspek kehidupan. Persatuan itu akan tetap berlangsung dan terjaga bila ada wadah yang bisa menyatukan kaum muslim dalam aspek kehidupan tersebut. Wadah itu tiada lain adalah institusi yang menaungi umat Islam di seluruh dunia yakni khilafah.

Dari sini seharusnya tumbuh kesadaran dan tekad untuk mewujudkan persatuan umat Islam yang hakiki di bawah satu kepemimpinan seorang imam atau Khalifah sebagaimana yang diamanatkan oleh Rasulullah saw.

Mewujudkan Makna Ukhuwah Yang Hakiki

Ibadah haji mengajarkan makna ukhuwah yang sebenarnya, bahwa sesungguhnya umat Islam itu bersaudara atas dasar iman. Penghayatan atas persaudaran ini mestinya melahirkan perhatian atas nasib seluruh kaum muslim, keberpihakan penjagaan dan pembelaan atas mereka.

Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati. (QS Al Hujurat: 10)

Allah SWT telah mengikat persaudaraan antar orang-orang beriman dengan ikatan yang hakiki yakni aqidah Islam. Tidak boleh ikatan ini digantikan dengan ikatan apapun sehingga sampai mengabaikan ketentuan hukum-hukum syariat, misalnya nasionalisme.

Nasionalisme inilah yang menyebabkan kaum muslimin menjadi terpecah belah di berbagai negara dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika saudara-saudaranya seiman di Palestina dijajah dan dibatai oleh zionis. Dan bahkanl nasionalisme inilah yang menjadi penyebab ketidakpedulian terhadap saudara-saudara seiman yang lainnya yang berbeda kebangsaan. Padahal darah, harta dan kehormatan kaum muslimin adalah wajib dijaga. Dan merupakan dosa besar jika kita ikut mempromosikan nasionalisme yang menjadi penyebab terbantainya saudara-saudara seiman di Palestina.

Hal yang paling ditekankan oleh Nabi SAW dalam khutbah haji wada’ adalah menjaga darah (tidak menumpahkan darah), harta, dan kehormatan. Berkali-kali hal ini beliau ulang-ulang wasiat ini dalam khutbah haji wada’.

Rasulullah Saw bersabda:

ٌ فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian darah kalian, harta benda kalian dan kehormatan kalian sebagaimana kehormatan pada hari kalian ini, bulan ini dan di negeri kalian ini.” (HR. Bukhari: 5583)

Ini adalah amanah untuk menjaga persaudaraan. Dilarang sesama mu’min untuk saling menumpahkan darah, menyakiti, dan mengambil hartanya dengan cara yang zalim

Membangkitkan Kesadaran politik umat dan perjuangan

Ibadah haji kini sudah kehilangan makna politisnya bagi umat. Tak seperti dulu, katakanlah di zaman penjajahan Belanda saat Khilafah masih ada. Para jamaah haji di jaman penjajahan betul-betul mendapat pencerahan politik berkat ibadah hajinya di Mekkah. Mereka yang pulang haji menjadi makin berani melawan pemerintahan kafir Belanda.

di masa lalu, khususnya di Nusantara, sesungguhnya kaum Muslim tidak membedakan antara keutamaan haji dan jihad. Haji dan jihad menjadi dua amalan utama yang sama-sama dirindukan oleh umat. Buktinya, pada era kolonial abad ke-19 dan awal abad ke-20, misalnya, jamaah haji yang kembali ke Tanah Air banyak menginspirasi bahkan memimpin jihad secara langsung melawan para penjajah Belanda di Nusantara. Ini terjadi di Padang, Banten, Garut, Bekasi, hingga Tangerang.

Akhirnya pada tahun 1908 Belanda menegaskan bahwa melarang umat Islam berhaji akan lebih baik daripada terpaksa harus menembak mati mereka. (H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm.22).

Para haji berada di garda terdepan melawan Belanda. Ini bukti bahwa pelaksanaan haji pada masa itu sangat kental dengan nuansa politik dan perjuangan, Namun sebaliknya, saat ini walau Dunia Islam masih terjajah, baik secara militer, politik dan ekonomi, suara perlawanan dari para haji kurang atau tidak terdengar. Mereka diam saja terhadap kemungkaran di depannya. Para haji juga diam seperti setan bisu terhadap kebijakan yang dzalim dari penguasa. Padahal aktivitas muhasabah adalah amalan yang pahalanya menyamai amalan jihad, bahkan dinyatakan sebagai jihad paling utama. Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Beliau pun bersabda:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَاَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

Pemuka para syuhada (mujahid yang wafat fi sabilillah) adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa lalim, kemudian ia memerintah dan melarang penguasa tersebut, lalu penguasa itu membunuh dirinya. (HR at-Tirmidzi)

Inilah jihad pada masa sekarang, yakni menasihati penguasa lalim dan menyatakan kebenaran di hadapannya. Tak perlu mengorbankan harta yang besar, seperti haji. Cukup kemauan dan keberanian menanggung risiko. Di antaranya kematian (mati syahid). Sayangnya, justru tidak banyak orang, termasuk para haji, yang merindukan aktivitas mulia ini, apalagi merindukan mati syahid sebagai cita-cita besar hidupnya. Padahal di antara tanda haji yang mabrur, Sebagaimana dalam hadits dari Jabir r.a. yang diriwayatkan oleh hakim yakni bertutur kata yang baik (thibul Kalam) yang tercermin dalam aktivitas dakwah menyampaikan Islam ke masyarakat maupun ke penguasa.

Wallahu a’lam

Ditulis oleh: dr. Ali Syafi’udin

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *