AS Desak QRIS Diganti Mastercard, Spirit Imperialisme

 AS Desak QRIS Diganti Mastercard, Spirit Imperialisme

MediaUmat.info – Desakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada pemerintah Indonesia untuk mengganti sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dengan dua kartu kredit keluaran perusahaan keuangan AS yakni Mastercard dan Visa, dinilai arogan dan membawa spririt imperialisme khas negara kapitalis.

“Permintaan pemerintah Amerika Serikat terhadap QRIS dan GPN adalah arogansi dan spririt imperialisme khas negara kapitalis,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada media-umat.info, Rabu (23/4/2025).

Iwan melihat, negara-negara besar seperti AS kerap menjalankan politik penjajahan ekonomi pada negara lain. Berbagai organisasi ekonomi dan perdagangan internasional seperti WTO berlagak menciptakan fair trade, tapi kenyataannya hanya menguntungkan negara-negara maju dan merugikan negara berkembang.

Ia mencontohkan, di masa pandemi Covid-19, sejumlah korporasi dari negara-negara maju memonopoli produksi dan penjualan vaksin. Perusahaan seperti Pfizer dan Moderna (keduanya berpusat di AS), lalu AstraZeneca (Inggris) menolak melonggarkan hak paten pembuatan vaksin Covid-19.

Mereka, sebut Iwan, menolak permintaan Dokter Lintas Batas (Medecins Sans Frontieres/MSF) yang menyerukan hak paten vaksin Covid-19 dilonggarkan, sebagai upaya agar negara-negara berkembang bisa segera mendapatkan vaksin. Hasilnya perusahaan-perusahaan farmasi itu meraup keuntungan besar.

“Aliansi Vaksin Rakyat (PVA), koalisi yang mengampanyekan akses yang lebih luas ke vaksin Covid melaporkan Pfizer, BioNTech dan Moderna menghasilkan keuntungan gabungan sebesar US$ 65.000 atau Rp 924 juta (asumsi Rp 14.200/US$) setiap menit,” ujarnya.

Iwan mengungkapkan, kebijakan tarif resiprokal yang dibuat Trump semakin meruntuhkan jargon fair trade yang mereka canangkan sendiri. AS dengan semena-mena menentukan tarif masuk produk impor. Indonesia, misalnya, terkena kenaikan tarif sampai 47% dari yang semula 32 %. Jelas ini memukul sejumlah sektor industri terutama tekstil dan garmen.

Oleh karena itu, Iwan menegaskan, tekanan AS ini harus dilawan. Kebijakan moneter dan keuangan suatu negara adalah kedaulatan negara tersebut. Jika negara lain sampai memaksakan kepentingan mereka pada negara lain, maka sudah mengancam kedautalan, dan semestinya dilawan.

Namun, kata Iwan, perlawanan itu tidak akan diberikan oleh negara yang masih bergantung pada asing. Indonesia misalnya, masih amat bergantung pada sejumlah negara besar seperti pada Amerika Serikat dan Cina. Banyak kepentingan politik dan ekonomi Indonesia yang terikat pada kebijakan dua negara tersebut.

“Ironi, mengingat Indonesia bukan negara kecil. Secara SDM dan SDA, banyak negara yang malah bergantung pada Indonesia,” ucapnya.

Menurut Iwan, Indonesia baru bisa betul-betul berdaulat dan melawan tekanan asing bila melandasi negerinya pada falsafah hidup yang kuat. Dan itu hanya ada pada Islam. Karena Islam adalah ideologi yang memiliki bangunan peradaban yang kuat. Syariatnya memberikan tuntunan bagi negara agar berdaulat dan tidak didikte oleh asing.

Iwan mencontohkan, salah satu hukum Islam dalam kebijakan pembayaran dan moneter yang kuat adalah melandaskan pada emas dan perak. Inilah dua pembayaran yang kokoh dan stabil. Dinar emas dan dirham perak akan melepaskan umat dari ketergantungan pada dolar, dan menciptakan stabilitas mata uang.

“Persoalannya, apakah kaum Muslimin mau memiliki negara adidaya yang bukan saja bersaing, tapi juga memimpin dunia? Ataukah puas menjadi alas kaki negara-negara Barat?” pungkas Iwan.[] Agung Sumartono

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *