26 Turis Hindu Tewas di India, Belasungkawa Prabowo Harusnya Seimbang

 26 Turis Hindu Tewas di India, Belasungkawa Prabowo Harusnya Seimbang

MediaUmat.info – Meski merupakan bentuk diplomasi biasa antar negara, ucapan belasungkawa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto atas meninggalnya 26 turis Hindu di India, dinilai menjadi persoalan ketika dilakukan secara tidak seimbang.

“Sering kali yang menjadi persoalan itu, pernyataan simpati ini dilakukan secara tidak seimbang,” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi kepada media-umat.info, Senin (5/5/2025).

Artinya, sikap simpati seharusnya juga dilakukan ketika yang menjadi korban adalah Muslim. “Seharusnya kritik yang sama atau simpati yang sama dilakukan ketika yang menjadi korban itu adalah umat Islam, misalkan,” sambungnya.

Sebutlah betapa banyak umat Islam tewas akibat kekerasan sektarian sporadis maupun sistematis oleh gerombolan nasionalis Hindu sejak pemisahan India pada tahun 1947.

Sehingga, tak hanya simpati terhadap sesama Muslim, kecaman juga ditujukan kepada penguasa represif India tatkala melakukan penyerangan atas umat Islam di sana. “Seharusnya juga kecaman yang sama dilakukan ketika militer India, misalkan, melakukan penyerangan terhadap kaum Muslim di sana,” lontarnya.

Sebab, kata Farid, apa pun bentuk dari suatu pembunuhan terhadap orang yang tak bersalah, termasuk 26 turis dimaksud, pada prinsipnya sama-sama tidak dibenarkan.

Celakanya, rezim-rezim di negeri ini sebelumnya juga menunjukkan sikap berat sebelah ketika terjadi penindasan bahkan pembantaian terhadap kaum Muslim di Palestina, Suriah, Xinjiang, serta wilayah-wilayah Muslim minoritas lainnya. Alih-alih memutus hubungan bilateral, justru kemudian menjalin kerja sama politik maupun ekonomi, kendati dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Sebagaimana diberitakan, Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan belasungkawa menyusul insiden penembakan pada 22 April yang menewaskan 26 turis Hindu di Pahalgam, Kashmir, India.

Selain belasungkawa yang disampaikan saat menjamu Duta Besar India untuk RI, Sandeep Chakravorty, di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (30/4), Presiden Prabowo juga menawarkan bantuan.

Paradigma Islam

“Nah di sinilah perlunya paradigma Islam dalam politik luar negeri, termasuk politik luar negeri Indonesia, seharusnya merujuk kepada paradigma Islam,” sambungnya.

Tak hanya menentang pembunuhan tanpa dasar syariat, Islam memandang hubungan antar negara menjadi beberapa macam status, tergantung sikap mereka terhadap umat Islam. Di antaranya kafir harbi (muhariban fi’lan) yang secara nyata memusuhi kaum Muslim, sehingga tidak ada hubungan kecuali hubungan perang.

“Negara-negara seperti India yang menganeksasi wilayah kaum Muslimin di Kashmir, atau Cina yang menganeksasi wilayah kaum Muslimin di Xinjiang, atau Amerika-Inggris yang mendukung langsung pembunuhan kaum Muslimin di Palestina, termasuk di wilayah-wilayah kaum Muslimin yang lain, ini masuk dalam kategori negara muhariban fi’lan,” terangnya.

Berikutnya, kafir muahid yakni kaum kafir yang telah mengadakan perjanjian tidak akan menyerang atau bermusuhan dengan umat Islam selama perjanjian berlaku.

Terhadap kafir muahid ini, kata Farid, umat Islam boleh menjalin kerja sama maupun perjanjian-perjanjian yang tentu saja, dalam batasan syariat Islam.

Lantas paradigma yang tak kalah penting adalah aktivitas politik luar negeri yang tak lepas dari upaya menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. “Selalu dalam kerangka menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, termasuk untuk menunjukkan keagungan aturan-aturan Islam,” imbuhnya.

Tetapi untuk bisa mewujudkan semua itu, dibutuhkan negara dalam hal ini representasi umat Islam secara global sekaligus merepresentasikan politik luar negeri negara Islam. “Di sinilah dibutuhkan negara khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *