PEPS: Dari Awal, Kebijakan Jokowi Sudah Sangat Tidak Adil

Mediaumat.info – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiman menilai kebijakan kepemimpinan Jokowi sangat tidak adil.
“Dari awal kepemimpinan Jokowi 2014 ini, kebijakannya sudah sangat tidak adil,” ujarnya dalam video Terang-Terangan JKW ‘Tertangkap’ Korupsi?! Selama Ini Kita Dibohongi, Begini Sebenarnya! di kanal YouTube Refly Harun, Sabtu (8/3/2025).
Alasannya, menurut Anthony, adalah di awal kepemimpinannya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium sekitar 30% lebih, yang awalnya Rp6.500 menjadi Rp8.500.
“Padahal harga minyak mentah dunia pada saat itu sudah turun sampai setengahnya. Sepanjang 2015 harga BBM di Indonesia pertamax itu lebih mahal dari Malaysia pada dasarnya dan juga lebih mahal dari AS,” bebernya.
Kemudian, tuturnya, 1 Januari 2015 Jokowi langsung menghapus 20 proyek kereta ekonomi di Pulau Jawa, yang uang subsidinya dialihkan infrastruktur. “Dan menjadikan kebijakannya ini di mana kereta ekonomi itu naik 2-3 kali lipat,” jelasnya.
Lalu di 2015, menurutnya, Jokowi mengeluarkan kebijakan tax amnesty (pengampunan pajak), yang berlaku dari 1 Juli 2016 menjadi sampai 31 Maret 2017.
“Tax amnesty ini tidak lain adalah dorongan dari mereka yang selama ini mempunyai uang-uang ilegal. Jadi uang ilegal itu bisa saja dari judi online, dari yang tidak membayar pajak dan sebagainya,” bebernya.
Adapun alasan kebijakan itu dipaksakan sebelum 2018, sebut Anthony, karena pada tanggal 1 Januari 2018 berlaku peraturan internasional yang mewajibkan setiap warga negara Indonesia atau warga negara asing di Indonesia melaporkan kekayaan asetnya ke negara.
“Jadi itu yang dinamakan automatic exchange of information for financial, kalau tidak dilakukan tax amnesty maka 1 Januari 2018 pemerintah harusnya tahu berapa kekayaan orang-orang Indonesia yang ada di Singapura karena itu wajib dilaporkan,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, mereka (yang mempunyai uang ilegal) mau memutihkan uangnya, lalu mendorong untuk tax amnesty.
“Dan tax amnesty ini narasinya adalah sangat membodohi masyarakat. Lalu dikatakan ini bagus untuk pertumbuhan ekonomi, ini bagus untuk pendapatan negara, diperkirakan tax ratio pada saat itu 10,14% penerima perpajakan, lalu kemudian katanya diperkirakan akan naik menjadi 14,06% dan faktanya ini adalah turun, ini adalah pembohongan besar kepada republik ini, kepada masyarakat ini,” bebernya.
Lalu pada 2018, beber Anthony, Jokowi memperpanjang kontrak Freeport, yang harusnya kontrak Freeport itu baru bisa diperpanjang paling cepat 30 Desember 2021. Namun Jokowi mengubahnya dengan perpres 11 Januari 2017 menjadi secepat-cepatnya 5 tahun sebelum kontrak berakhir.
“Artinya apa? Artinya pada saat itu 2016-2017 dia sudah bisa memperpanjang kontrak Freeport. Jadi kebijakan koruptif dan merampas wewenang presiden terpilih untuk 2019 yang mungkin pada saat itu Jokowi tidak yakin terpilih kembali, karena pilpres itu presiden selanjutnya yaitu 20 Oktober 2019, jadi belum bisa memperpanjang, kalau pada saat itu presidennya yang periode 2019-2024 itu bukan Jokowi,” ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, tambang-tambang diberikan kepada pengusaha termasuk pengusaha asing dengan alasan hilirisasi.
Lanjut pada 2020, menurut Anthony, rezim Jokowi menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja yang melanggar konstitusi.
“Melanggar konstitusinya banyak sekali, tetapi intinya adalah sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi itu adalah inkonstitusional meskipun ada emblem-emblemnya bersyarat karena MK belum berani melawan Jokowi pada saat itu,” ungkapnya.
Namun lanjutnya, Jokowi menerbitkannya lagi sebagai perpu. Perpu setelah 1 tahun kemudian.
“Perpu itu harusnya hanya boleh diterbitkan pada kondisi kegentingan memaksa. Perpu ini adalah harus diterbitkan kalau ada kegentingan memaksa. Ada persyaratannya dan tidak ada undang-undang, tidak ada undang-undang yang bisa mengatasi kegentingan memaksa itu,” jelasnya.
Anthony pun menyebut Ibu Kota Nusantara (IKN) juga melanggar konstitusi secara transparan.
“Yaitu apa? Pemerintah daerah IKN bentuknya adalah ototrita. Tidak ada pemerintahan daerah di Indonesia secara konstitusi bentuknya adalah otorita. Di dalam konstitusi pasal 18 mengatakan bahwa pemerintah daerah Indonesia terdiri dari provinsi kabupaten dan kota. Dipimpin oleh gubernur, bupati, dan wali kota. Tidak ada otorita,” ujarnya.
Belum lagi lanjutnya, masalah korupsi, dari base transceiver station (BTS), timah, nikel, Blok Medan di Halmahera. “Bahwa tadi itu sudah dikatakan ada keterlibatan,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat