Program Kemitraan G7 dan Belt Road Cina, Sama-Sama Alat Penjajahan

Mediaumat.id – Program Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global, G7 yang katanya tidak seperti Proyek Sabuk dan Jalan (Belt and Road) Cina yang telah menjebak negara-negara berkembang dengan utang, dinilai sama saja.
“Sama aja, yang namanya utang, baik dari Cina maupun dari G7 merupakan alat penjajahan ekonomi,” ujar Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim kepada Mediaumat.id, Selasa (28/6/2022).
Diketahui, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan para pemimpin G7 meluncurkan kembali Program Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global pada pertemuan tahunan yang dilakukan di Schloss Elmau, Jerman selatan, tahun ini.
Melalui program ini, mereka berjanji untuk mengumpulkan US$600 miliar atau Rp 8.879,1 triliun (kurs Rp14.798 per dolar AS) selama lima tahun guna membiayai infrastruktur yang dibutuhkan di negara-negara berkembang dan melawan Proyek Sabuk dan Jalan Cina.
Janji mereka sampaikan pada Ahad (26/6). Mereka juga menjelaskan dana itu akan dihimpun dari sektor swasta dan publik.
Namun terlepas itu, menurut Arim lebih lanjut, mereka sebenarnya bersaing untuk menjajah negara-negara berkembang yang mayoritas Muslim dengan menjadikan utang sebagai alatnya.
Ia menyebut, G7 adalah kumpulan negara kapitalis Barat termasuk Amerika Serikat (AS). Sedangkan Cina, kapitalis dari timur.
Dari sisi lain, ia memandang, Program G7 tersebut sebagai jalan keluar dari terganggunya kapitalis Barat oleh program utang dari Cina. “Para kapitalis Barat dan Amerika mulai terganggu dengan program utang dari Cina dengan Program Belt and Road-nya,” jelasnya.
Maka itu, kata Arim, para kapitalis Barat ingin mengalihkan jerat utang Cina terhadap negara-negara berkembang untuk dijerat lebih halus oleh negara-negara G7.
Tak Utang Lagi
Lantaran itu, untuk bisa selamat dari ‘mulut buaya’ (Cina) dan ‘mulut harimau’ (G7), terlebih sebagai negara berkembang, Arim menuturkan, seharusnya dunia Islam tidak lagi melakukan pinjaman kepada negara-negara kapitalis tersebut.
Artinya, negeri-negeri Muslim harus senantiasa berupaya menjalankan syariat Islam dengan tidak mengambil utang lagi kepada negara-negara kapitalis G7 maupun Cina yang pada dasarnya utang tersebut nyata berbasis riba.
Setidaknya, kata Arim, hal itu patut dilakukan karena dua alasan. Pertama, utang ribawi adalah haram. “Utang itu haram karena esensinya alat penjajahan ekonomi (juga),’ tegasnya kembali.
Kedua, sebagai solusi terkait sumber pendapatan negara dalam hal ini APBN, pengelolaan sumber daya alam (SDA) sesuai dengan ketentuan Islam adalah suatu keniscayaan.
“Sumber daya alam dikelola oleh negara, haram liberalisasi dan privatisasi. Sehingga sumber daya alam menjadi sumber pendapatan negara,” pungkasnya.[] Zainul Krian