Mediaumat.info – Kebijakan Presiden Prabowo yang ingin memaksimalkan Devisa Hasil Ekspor (DHE ) hingga US$100 miliar per tahun dengan menerapkan kebijakan DHE yang mewajibkan “parkir” devisa di bank nasional selama setahun, dinilai tidak menyelesaikan akar masalah ekonomi yang lebih mendasar.
“Meskipun niatnya baik untuk memperkuat cadangan devisa, pada dasarnya tidak menyelesaikan akar masalah ekonomi yang lebih mendasar,” ujar Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada media-umat.info, Sabtu (1/3/2025).
Menurut Ishak, hal itu tidak akan efektif selama sistemnya masih kapitalistik dan tambang belum sepenuhnya dikuasai oleh negara. Selain itu, tujuan DHE sejatinya adalah untuk memperkuat nilai tukar rupiah, sebab dengan masuknya dana hasil valas ke dalam negeri melalui kebijakan DHE, maka diharapkan kurs rupiah akan lebih kuat dan cadangan devisa negara menjadi lebih kuat.
Namun, kata Ishak, yang patut dicatat bahwa selama penerapan mata uang kertas (fiat money) yang berbasis kepercayaan semata, tanpa underlying aset riil seperti emas atau perak, maka kebijakan DHE tersebut tetap sulit menjaga stabilitas rupiah yang sangat fluktuatif karena rentan terhadap spekulasi. Dan ketika pemerintah melakukan intervensi pasar untuk menstabilkan rupiah, cadangan devisa sering kali terkuras sia-sia melawan tren pasar global yang didominasi kekuatan ekonomi Barat.
“Karena itu, kebijakan DHE hanyalah solusi permukaan yang tidak menyentuh inti permasalahan yaitu ketergantungan pada sistem moneter kapitalis yang bertentangan dengan syariat yang mengharuskan penggunaan mata uang emas dan perak,” bebernya.
Respons Freeport
Ishak melihat, terkait dukungan Freeport terhadap kebijakan DHE yang disertai catatan bahwa perusahaan membutuhkan dolar untuk operasional, gaji, dan cicilan utang, menunjukkan tidak merdekanya pemerintah Indonesia dalam mengontrol perusahaan-perusahaan asing termasuk di sektor pertambangan.
Ishak mengungkapkan, selama ini keuntungan tambang mengalir keluar dalam bentuk dolar ke kantor pusat mereka, sementara rakyat Indonesia hanya kebagian dampak lingkungan dan remah-remah ekonomi. Kondisi tersebut tentu tidak perlu terjadi jika sumber daya alam dikuasai negara, sehingga keuntungan termasuk pendapatan valas digunakan sesuai dengan kepentingan negara dan umat.
Padahal, kata Ishak, dalam ajaran Islam sumber daya alam seperti mineral, emas, tembaga, dan hasil tambang lainnya termasuk dalam kategori kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Oleh karena itu, Freeport dan perusahaan tambang lainnya yang mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia seharusnya tidak diberikan konsesi. Dan sumber daya alam tidak diperbolehkan berada di tangan swasta, apalagi asing, melainkan wajib dikuasai negara untuk memastikan hasilnya kembali kepada umat, bukan hanya menguntungkan elite atau investor asing.
Selain itu, Ishak mengingatkan, Islam telah menawarkan sistem moneter berbasis emas dan perak (dinar dan dirham), yang memiliki nilai intrinsik dan stabil karena didukung oleh aset riil. Bahkan di dalam Al-Qur’an, emas dan perak disebut sebagai harta yang diakui dan Rasulullah SAW menetapkannya sebagai alat tukar yang sah. Sehingga nilai tukar antar negara akan tetap stabil sebab emas yang menjadi underlying mata uang mereka tidak berbeda signifikan nilainya antar negara karena nilainya universal, tidak seperti mata uang kertas yang bergantung pada kebijakan bank sentral atau spekulasi pasar.
“Dengan kembali ke sistem ini, Indonesia tidak perlu lagi khawatir tentang volatilitas devisa. Dan dengan mengadopsi aturan bahwa negara merupakan pihak yang berkewajiban mengelola harta milik publik seperti emas, maka Indonesia tidak akan kehilangan kekayaan dari hasil tambang sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia dan memberikan keberkahan sebagai konsekuensi ketundukan kepada syariat Islam yang berasal dari Allah SWT,” pungkasnya.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat