UIY Sebut Aneh Warganet yang Anggap Jilbab Budaya Arab

Mediaumat.info – Komentar para warganet yang menganggap jilbab maupun kerudung adalah budaya Arab, dinilai aneh oleh Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY).

“Menjadi aneh ketika misalnya, ketika ada pakaian-pakaian jilbab itu lalu dianggap ini Arab, apalagi kemudian dikatakan budaya Arab,” ujarnya dalam Focus to The Point: Jawaban Lugas Ustadz Ismail Tentang Komentar Larangan Jilbab di TikTok! di kanal YouTube UIY Official, Selasa (23/7/2024).

Adalah sebelumnya, beberapa warganet mengomentari tentang pandangan UIY terhadap kebijakan pelarangan jilbab di Tajikistan baru-baru ini, yang ditayangkan di akun TikTok pribadinya @ismailyusanto pada Rabu (3/7) berjudul Tajikistan Larang Jilbab.

Tak hanya aneh, cara berpikir warganet yang justru memandang budaya berhijab bagi Muslimah bakalan mengancam budaya lokal Tajikistan pun dinilai tak masuk akal.

Sebutlah akun @alexsoemarto yang mengomentari: Pemimpin kita harus bercermin seperti ini jika ingin rakyatnya damai & lebih menghargai budaya lokal yg adi luhung????

“Kalau begitu cara kita berpikir, kan jadi sangat absurd,” tambah UIY menanggapi.

Artinya, ada yang masih menganggap bahwa kewajiban menutup aurat dengan memakai jilbab dan kerudung bakal mengancam budaya sebuah komunitas masyarakat.

Pun termasuk Presiden Tajikistan Emomali Rahmon, yang menyatakan larangan hijab ini untuk melindungi ‘budaya Tajik’ dan mengurangi pengaruh agama di kalangan masyarakat.

Padahal seperti diketahui salah satu pakaian adat Tajikistan sendiri penuh warna yang diadopsi dari gaya berpakaian bangsa Persia. Begitu juga restoran-restoran di Tajikistan biasanya menawarkan makanan Barat dan Rusia.

Sehingga, istilah mengancam dimaksud sebenarnya tidak relevan. Sebab di dalam kehidupan dunia senantiasa terdapat hubungan pengaruh dan memengaruhi di antara manusia. Apalagi di era modern saat ini yang menjadikan interaksi tidak bisa lepas dari kemajuan teknologi informasi dan transformasi yang makin luar biasa.

“Seperti one society, satu masyarakat global yang hampir-hampir sudah tidak bisa dibedakan antara satu negara dengan negara lain ketika food fashion and fun-nya_ itu sama misalnya,” urainya.

Akhirnya, dengan sendirinya menjadi rancu antara siapa yang mengancam dan diancam. “Kalau begitu siapa yang mengancam dan siapa yang diancam?” lontarnya.

Lantas berangkat dari situlah agama menjadi salah satu faktor sangat menentukan di dalam pilihan budaya, khususnya yang menyangkut soal pakaian, termasuk jilbab dan kerudung.

Dengan kata lain, agama adalah tuntunan pandangan hidup yang menyangkut berbagai soal termasuk pakaian yang menurut UIY, paling signifikan, dalam hal ini kewajiban menutup aurat.

Maka ketika orang tersadar oleh karena dorongan agamanya kemudian mengubah cara berpakaian, ketika itu pula pilihannya menjadi budaya itu sendiri.

Mustinya begitu (dan) tidak harus ketika dia itu semula itu katakanlah memakai celana pendek, lalu tidak lagi, dianggap bahwa ini mengancam budaya celana pendek,” tandasnya, menganalogikan.

Pengalihan Isu

Di sisi lain, pelarangan tersebut dinilai sebagai bentuk pengalihan isu agar masyarakat menganggap masalah radikalisme sebagai problem utama, bukan masalah struktural semisal kemiskinan dan kekuasaan korup di negara itu.

“Semacam false flag,” sebutnya, menyinggung sebuah istilah yang digunakan oleh para penganut teori konspirasi.

Pula, kebijakan itu dinilai memiliki intensi bukan sekadar sesuatu yang akan mengancam budaya. Tetapi terdapat semacam fobia terhadap sesuatu yang bersifat Islam.

“Ini intensinya itu bukan sekadar soal bahwa ini sesuatu yang mengancam budaya. Tapi di balik itu ada semacam islamofobia,” cetusnya.

Lebih dari itu, meminjam hasil analisis dari Pakar Politik Luar Negeri Hasbi Aswar, Ph.D., kebijakan yang berlebihan terhadap Islam di Tajikistan adalah strategi pemerintah untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak mengancam kepentingan rezim.

Menurut UIY, analisis ini sangat logis. Sebab Islam adalah agama yang secara generik/lazim mendorong umat untuk tidak pernah tinggal diam terhadap suatu kemungkaran.

Sementara, di saat yang sama kekuasaan yang sewenang-wenang selalu berupaya menghentikan dorongan yang lahir dari akidah, yaitu dorongan untuk melawan kemungkaran dimaksud.

“Di satu sisi untuk menyelamatkan kekuasaan (yang sewenang-wenang), dan di sisi lain untuk mengikuti titah tuannya, (yaitu) negara-negara besar yang acap membawa narasi islamofobia,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: