Mediaumat.info – Masih membahas makna hijrah, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyebut aneh terhadap orang Islam yang tidak bisa menerima keberadaan negara Islam.
“Aneh orang bisa menerima keberadaan negara sosialis, komunis bahkan kapitalis, tapi mengapa (Muslim) tidak bisa menerima keberadaan negara Islam?” herannya dalam Focus to The Point: Hijrah Tak Cukup Individu, Butuh Negara! di kanal YouTube UIY Official, Rabu (10/7/2024).
Dengan kata lain, terlontar pertanyaan mengenai fenomena umat yang bisa menerima keberadaan keluarga Islam, sekolah Islam, di tengah-tengah kehidupan mereka, tetapi di saat yang sama, umat Islam tidak memperkenankan praktik ekonomi, politik, hingga berpemerintahan Islam.
Padahal, sambung UIY, kejayaan, kemuliaan, atau kebaikan Islam justru tampak pasca-Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, hingga berdiri institusi negara Islam, yang senantiasa berkembang ke berbagai wilayah termasuk negeri ini.
Untuk dipahami, dakwah Nabi SAW kala itu bukan sekadar dakwah personal atau kelompok. Lebih dari itu, dakwah tersebut kemudian berwujud menjadi sebuah dakwah di dalam level negara.
Sebagaimana Allah SWT katakan ‘Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad SAW), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam’, kehadiran sebuah negara yang bakal menerapkan syariat Islam secara kaffah sangatlah penting.
“Bagaimana kerahmatan itu bisa diwujudkan? Hanya mungkin dan hanya jika syariah Islam itu diterapkan secara kaffah menyangkut kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat dan negara,” urainya, yang berarti negara di dalam prinsip Islam memang didirikan untuk menerapkan syariat secara kaffah.
Makanya, kata UIY lebih lanjut, apabila ada negara yang justru menghalangi perjuangan penerapan syariat Islam secara keseluruhan di setiap aspek kehidupan, maka jelas bertentangan dengan prinsip tersebut.
Dua Makna Hijrah
“Meminjam kategorisasi yang dibuat oleh Syekh Izzuddin Abdul Salam itu dikatakan hijrah itu ada dua (macam),” kata UIY lebih lanjut.
Yang pertama, hijrah makaniyah yakni berpindah dari satu tempat (negeri kufur) ke tempat lain (negeri Islam) untuk menyelamatkan sesuatu yang paling berharga yakni agama. Kedua, hijrah maknawiyah yakni mengubah diri, dari yang buruk menjadi lebih baik demi mengharap keridhaan Allah SWT, dari maksiat menuju ketaatan yang menyangkut seluruh perkara seputar akidah, akhlak hingga muamalah.
“Jika kita ini tidak punya kewajiban hijrah makani, maka kita punya kewajiban hijrah maknawi, meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT dalam seluruh perkara termasuk dalam perkara-perkara muamalah,” tuturnya.
Sehingga, berkenaan hijrah maknawiyah yang dipahami sebatas akhlak seperti meninggalkan pakaian yang membuka aurat, dinilai tidaklah cukup. “Tidak cukup, artinya dia harus juga memperhatikan apa yang dilarang dalam ekonomi, apa yang dilarang dalam politik,” tegasnya, yang berarti pula di saat yang sama, harusnya meninggalkan sistem ekonomi yang masih kapitalistik, politiknya yang masih sekularistik, ditambah keterlibatan umat di dalam organisasi politik yang masih memperjuangkan sesuatu yang bukan Islam.
Sebaliknya, sebagai Muslim harusnya memperjuangkan Islam, bukan lantas ikut-ikutan memperjuangkan sesuatu selain Islam.
“Ini hal-hal yang penting sekali untuk diperhatikan agar spirit hijrah itu, itu sampai kepada titik-titik yang memang harus juga dilakukan atau ditinggalkan,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat