UIY: Perang Saudara Sudan Akibat Tiadanya Institusi yang Satukan Umat

MediaUmat Perpecahan internal di tubuh pemerintahan yang berlanjut menjadi perang saudara di Sudan, dinilai Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY), sebagai salah satu akibat dari tidak adanya institusi berikut pemimpin yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia.

“Perpecahan itu adalah akibat dari persoalan yang lebih besar, yaitu tidak adanya institusi yang menyatukan kita, tidak adanya pemimpin yang menyatukan kita,” ujarnya dalam Fokus: Sudan Dikoyak Siapa? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (9/11/2025).

Maka untuk menyelesaikannya, sambung UIY, umat harus fokus pada akar permasalahan dari perpecahan dimaksud, yakni tidak diterapkannya hukum-hukum Allah SWT di tengah mereka.

Dengan kata lain, sebut UIY, menjadi amat penting bagi umat untuk bersatu menerapkan syariat Islam secara kaffah di seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti hubungan antara penguasa dan rakyat, keadilan, maupun kesejahteraan.

Adalah khilafah, institusi politik Islam yang bertujuan untuk memimpin seluruh umat Muslim di dunia di bawah satu sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara total, yang menurut UIY, mutlak harus ada. Berikut pemimpinnya yang disebut khalifah, memimpin umat dengan konsep hirasatuddin wa siyasatuddunya atau memelihara agama dan mengatur dunia sebagaimana perintah Allah SWT.

Kepentingan Nasionalisme

UIY memaparkan, perpolitikan umat Islam saat ini dibatasi oleh berbagai kepentingan nasionalisme yang pada dasarnya tak bisa lepas dari perspektif national interest (kepentingan nasional) itu sendiri, yakni sudut pandang dengan tidak menjadikan prinsip benar atau salah sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan luar negeri maupun domestik.

“Ketika perspektifnya national interest, maka ukurannya itu bukan benar salah, tapi aku dapat apa dari itu semua,” jelasnya, seraya menyinggung kembali meletusnya Perang Saudara yang terjadi di Sudan sejak April 2023.

Tengoklah di tengah perang brutal dan mematikan yang melibatkan Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF), yaitu militer pemerintah Sudan, dengan Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces/RSF), yaitu kelompok paramiliter independen, terdapat negara Muslim lain justru memihak kepada kelompok milisi yang bukan tentara resmi Sudan tersebut.

Adalah dalam hal ini Uni Emirat Arab (UEA) yang diduga kuat mendukung karena kerap menyuplai senjata-senjata ke pihak RSF pimpinan Dagalo. Bahkan ketika para pengamat dan aktivis hak asasi manusia melacak kembali sumber sejumlah senjata itu yang merupakan dari UEA, terdapat pula sejumlah perusahaan di UEA yang memiliki hubungan kuat dengan pemberontak RSF, cnnindonesia.com (8/11).

 

Untuk diketahui, sebelum terpisahnya Sudan Selatan, negara ini merupakan wilayah Arab-Islam terbesar di benua Afrika dan salah satu dari sepuluh negara terluas di dunia. Posisinya yang strategis di tepi Laut Merah, berbatasan dengan delapan negara penting di Afrika, serta dialiri oleh Sungai Nil, menjadikan Sudan salah satu kawasan paling sensitif secara geopolitik di dunia.

Meski memiliki potensi ekonomi dan budaya yang besar, dari sumber daya alam yang kaya, lahan pertanian subur, hingga tenaga kerja muda, Sudan sejak meraih kemerdekaan pada tahun 1956 telah mengalami lebih dari 20 kudeta militer, dua perang saudara besar, serta ratusan ribu korban jiwa dan pengungsi.

Ditambah kini, negara ini kembali terjerumus dalam konflik antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), yang menimbulkan kerugian besar bagi negara besar di jantung Afrika tersebut, baik secara material, terlebih secara manusiawi karena ratusan ribu orang telah tewas dan belasan juta warga mengungsi, parstoday.ir (4/11).

Artinya, banyak pihak terutama Barat yang sejak awal menaruh kepentingan di sana, yang didasarkan pada sejumlah alasan strategis, historis, dan ekonomis kompleks, yang mencakup misalnya sumber daya energi (minyak dan gas), kepentingan geopolitik dan strategis, dukungan terhadap Israel, imperialisme dan pembentukan batas, hingga pengendalian jalur perdagangan, dengan terus-menerus memperlemah titik-titik di Sudan yang diperkirakan bakal menjadi kekuatan Islam.

“Mereka sudah mengidentifikasi,” kata UIY, sembari mengungkapkan tidak ada negeri Muslim selain Sudan yang lebih ‘radikal’ karena memiliki lagu kebangsaan berjudul Nahnu Jund Allah Jund al-Watan yang berarti Kami adalah Prajurit Allah, Prajurit Tanah Air.

Apalagi, pada bulan September 1983 silam, Sudan melalui Presiden Gaafar Nimeiry memperkenalkan hukum syariah Islam yang dikenal sebagai Hukum September. Hukum ini memuat peraturan seputar hudud seperti hukuman cambuk di depan umum bagi mereka yang mengonsumsi alkohol dan amputasi bagi mereka yang mencuri.

Sehingga, dengan isu masalah ekonomi, termasuk inflasi dan utang luar negeri yang substansial, Nimeiry pun digulingkan pada tahun 1985, dan hukum tersebut dibekukan selama transisi menuju demokrasi antara tahun 1985 dan 1989, en.wikipedia.org.

Pun pada Jumat 17 Juli 2020, sebagaimana dilansir islampos.com, di sepanjang Siteen Street (60 Street) di distrik Khartoum Timur ibu kota Sudan, meletus unjuk rasa besar-besaran dari banyak masjid setelah shalat Jumat, menuduh pemerintah murtad dan mendesak orang menjatuhkan pemerintahan Perdana Menteri Abdallah Hamdok setelah Sudan mengesahkan sejumlah undang-undang yang mencabut berbagai pembatasan hukum Islam.

Kala itu, pengunjuk rasa memegang spanduk bertuliskan dalam bahasa Arab yang artinya, Agama Allah dan hukum syariah adalah mutlak. Sementara di belakangnya spanduk lain bertuliskan turunkan amendemen (konstitusi) yang bertentangan dengan syariah Islam.

Demikian, dari semua peristiwa tersebut, kata UIY lebih lanjut, umat bisa memahami jika Sudan memang dijadikan sasaran untuk terus dilemahkan. Ringkasnya, bakal terjadi pembelahan Sudan menjadi Sudan Timur dan Barat.

“Kalau kita lihat konflik di sana itu, itu hampir ujungnya itu nanti adalah pemisahan wilayah. Dan kalau itu terjadi maka Sudan Utara (baca: Sudan) yang mayoritas Islam itu terbelah jadi dua,” tandasnya.

Oleh sebab itu, UIY mengajak umat untuk senantiasa berdoa agar Sudan bisa menemukan jalan penyelesaian terbaik. “Kita mendoakan, tentu saja karena kita (Indonesia) jauh begini, mudah-mudahan Sudan ini bisa menemukan jalan penyelesaian yang terbaiklah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: