Ubah Komoditas Publik Jadi Komersial, Invest: Untungkan Swasta

Mediaumat.id – Mahalnya harga minyak goreng yang terjadi saat ini dinilai oleh Koordinator Indonesian Valuation for Energy and Infrastucture (Invest) akibat komoditas publik diubah menjadi komoditas komersial.

“Komoditas yang mestinya merupakan kepemilikan publik oleh penguasa diubah menjadi komoditas komersial. Sehingga komoditas strategis tersebut oleh swasta digunakan untuk mencari keuntungan setinggi-tingginya dari produksi minyak kelapa sawit,” tuturnya pada Mediaumat.id, Ahad (3/4/2022).

Menurutnya, itu memang karakter swasta yang kapitalistik. “Bukan salah taipan 9 naga kalau akhirnya komoditas sawit di atas digunakan untuk mencari untung yang sebesar-besarnya. Yang salah adalah rezim yang tidak memiliki visi ideologi, sehingga melepas kepemilikan publik yang strategis ke swasta hanya demi keuntungan pribadi,” ujarnya.

Menurut Daryoko, komoditas ekonomi terbagi dua, komoditas publik (public good) dan komoditas komersial (commercial good). “Dalam Islam, komoditas kepemilikan publik ini antara lain air, ladang (hutan rakyat milik negara), dan api (energi, BBM, listrik, batu bara, gas dan lain-lain) yang harus dikuasai oleh khalifah (negara) dan diharamkan harganya (tidak boleh dikomersialkan),” ungkapnya.

Hal tersebut, menurut Daryoko, sejalan dengan hadits riwayat Ahmad: Al-muslimûna syurokâu fî tsalâtsi fî al mâi wa al kalâi wa al nâri. wa tsamanuhu harâmun yang artinya umat Islam (umat manusia) itu sama-sama membutuhkan (berserikat) atas tiga hal, yaitu air, ladang dan api, dan atas ketiganya diharamkan harganya (tidak boleh dikomersialkan dan harus dikuasai negara).

“Jadi, jelas bahwa air, ladang (hutan), dan api (energi) itu merupakan infrastruktur penyangga kehidupan rakyat yang tidak boleh dikomersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi guna dimanfaatkan untuk bisnis pribadi secara komersial. Komoditas publik itu harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagaimana pasal 33 UUD 1945,” simpulnya.

Menurut Daryoko, ladang (hutan) yang menurut hadits dan konstitusi mestinya dikuasai oleh negara guna pelayanan kepada rakyat (untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat), saat ini oleh peng-peng (penguasa-pengusaha) sudah dijual atau disewakan ke taipan 9 naga. Dan oleh para taipan itu dijadikan kebun kelapa sawit yang luasnya jutaan hektare guna bahan baku minyak kelapa sawit.

“Akhirnya terjadilah lonjakan harga minyak goreng. Dan itu wajar, karena komoditas yang mestinya public good (yang bersifat monopoli negara) kemudian diserahkan menjadi monopoli swasta. Dan sangat wajar bila swasta kemudian memakai aji mumpung, mumpung memegang kendali monopoli kemudian menggunakannya untuk mencari untung yang sebesar-besarnya,” tukasnya.

Agar terlihat peduli rakyat, lanjutnya, penguasa menggunakan jurus DMO (domestic market obligation). Strategi ini bertujuan membatasi ekspor minyak kelapa sawit dan memberikan minimal sekian persen untuk kebutuhan dalam negeri.

“Tapi pemerintah lupa bahwa komoditas yang sudah berubah menjadi komoditas komersial itu mengikuti mekanisme pasar bebas. Yaitu akan menuju ke mana dibutuhkan dengan harga yang tinggi, dan susah untuk dikendalikan dengan kontrol dan regulasi, karena pasar hanya akan mengikuti hukum pasar yaitu supply and demand,” terangnya.

Selain itu, kata Daryoko, penguasa menggunakan jurus BLT (bantuan langsung tunai). Jurus ini dari dulu selalu dipakai oleh rezim guna mengelabui rakyat. Misal sekian puluh juta rakyat akan diberikan bantuan sekian ratus ribu rupiah selama sekian bulan.

Pertanyaannya, ungkap Daryoko, siapa yang mau cek ke lapangan bahwa BLT tersebut sudah diberikan sesuai jumlahnya. Jurus ini dilaksanakan dengan pemberitaan yang gencar, sehingga seolah-olah sesuai apa yang diomongkan penguasa di televisi.

“Seandainya memang benar sudah dibagikan. Cukupkah untuk mengatasi kebutuhan? Dan paling hanya berapa bulan?” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: