Tuntutan JPU dalam Kasus Fatia dan Haris Azhar Tidak Objektif dan Berdasarkan Ketidaksukaan

 Tuntutan JPU dalam Kasus Fatia dan Haris Azhar Tidak Objektif dan Berdasarkan Ketidaksukaan

Mediaumat.id – Pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) jauh dari objektif dan didasarkan pada ketidaksukaan, bukan pada pertimbanga-pertimbangan hukum yang relevan.

“Kami menilai bahwa tuntutan ini jauh dari objektif, sebab didasarkan pada ketidaksukaan, bukan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang relevan,” ujar Tim Advokasi untuk Demokrasi dalam pers rilis yang di terima Mediaumat.id, Rabu (15/11/2023).

Nurkholis Hidayat salah satu dari Tim Advokasi untuk Demokrasi mengatakan, fakta-fakta yang dijabarkan JPU sangat tendensius dan penuh dengan karangan. Sedangkan konstruksi analisis yang dibangun pun sangat keliru, karena didasarkan fakta-fakta yang salah. Jaksa tidak sama sekali menyinggung substansi terkait kerusakan lingkungan hidup, masyarakat adat, hingga kekerasan di Papua. Justru, jaksa menyatakan semua isu yang diangkat merupakan rekayasa.

“Hal ini tentu mencederai dan melecehkan martabat perjuangan masyarakat sipil khususnya di Papua,” ucap Nurkholis.

Nurkholis menilai, tuntutan jaksa merupakan bagian dari malicious prosecution, sebab tuntutan ini tidak berdasarkan hasil-hasil pembuktian di persidangan. Tuntutan yang dibacakan jaksa memiliki muatan permusuhan pribadi, bias, atau alasan lain di luar kepentingan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari tuntutan pidana maksimal yakni penjara 4 tahun dan jaksa menyatakan bahwa tidak ada satu pun alasan yang meringankan.

Sedangkan anggota Tim Advokasi untuk Demokrasi yang lain yakni Muhammad Isnur memandang, tuntutan ini menginjak-nginjak hukum sekaligus alarm berbahaya bagi situasi demokrasi khususnya kebebasan sipil di Indonesia. Selain itu, tuntutan ini kian mempertegas bahwa jaksa merupakan institusi penegak hukum yang memberikan sumbangsih besar terhadap buruknya situasi HAM, khususnya kebebasan dalam berpendapat. Jaksa pun bertindak tidak profesional karena melahirkan tuntutan manipulatif, jahat dan politis.

“Terlebih penggunaan UU ITE lagi-lagi menegaskan bahwa produk hukum ini problematis, bersifat karet dan menggerus hak-hak digital masyarakat.” tutur Isnur.

Isnur menambahkan, jaksa bahkan mengutip pernyataan dari buzzer di akhir surat tuntutannya. Hal ini memperlihatkan bobroknya institusi kejaksaan selama ini. Selain itu, jaksa pun melakukan tuduhan yang sangat serius, sebab menganggap masyarakat sipil melakukan tindakan kriminal akan tetapi sering berdalih pada HAM dan kebebasan.

“Tuntutan ini kembali memperpanjang deretan langkah pembungkaman terhadap suara masyarakat sipil yang kritis. Selain itu, jaksa seperti ingin menyampaikan pesan bahwa siapa pun yang keras terhadap dengan pejabat, harus siap dituntut secara hukum,” pungkas Tim Advokasi untuk Demokrasi.[] Agung Sumartono

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *