Trump dan Putin: Dari Cinta ke Benci Hanya Selangkah Lagi

Presiden AS Donald Trump mengatakan pada hari Senin (6/10) bahwa ia ingin tahu apa yang direncanakan Ukraina dengan rudal Tomahawk buatan AS sebelum menyetujui pengirimannya, karena ia tidak ingin meningkatkan perang Rusia melawan Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah meminta Amerika Serikat untuk menjual rudal Tomahawk ke negara-negara Eropa, yang kemudian akan mengirimkannya ke Ukraina.
Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin mengancam Trump dengan “putusnya hubungan” jika Ukraina menerima rudal Tomahawk dari Amerika Serikat, ia mengatakan dalam sebuah video yang dirilis hari Ahad (5/10) bahwa jika Washington memasok Ukraina dengan rudal Tomahawk untuk melancarkan serangan jarak jauh jauh di dalam Rusia, maka hal itu akan menghancurkan hubungan Moskow dengan Washington (skynewsarabia.com, 7/10/2025).
**** **** ****
Dalam dua pekan terakhir, kita telah menyaksikan serangkaian laporan berita yang menunjukkan perubahan kebijakan pemerintahan AS saat ini terhadap Rusia dan invasinya ke Ukraina.
Pada 23 September, Trump tiba-tiba menyatakan: “Saya yakin bahwa Ukraina, dengan dukungan Uni Eropa, mampu berjuang dan menang, serta mengembalikan seluruh Ukraina ke perbatasan aslinya.”
Pada hari yang sama, ia juga mengatakan: “Ukraina tidak hanya dapat merebut kembali semua wilayahnya, bahkan dapat melangkah lebih jauh.” “Rusia tidak terlihat begitu mengesankan. Bagi mereka, ini seharusnya cepat. Sepertinya perang masih jauh dari selesai,” tambahnya.
Pada 26 September, ia menyatakan: “Ekonomi Rusia sedang menuju kehancuran. Mereka mengebom semua yang terlihat dan merebut sangat sedikit wilayah, jika ada. Bahkan, mereka kehilangan sebagian wilayah.”
Pada 29 September, Utusan Khusus AS untuk Ukraina Keith Kellogg mengumumkan bahwa Trump telah mengizinkan Ukraina untuk melakukan serangan jarak jauh terhadap Rusia. Pada 2 Oktober, muncul laporan bahwa Trump telah menandatangani perintah yang mengizinkan Pentagon dan badan intelijen untuk membantu Ukraina dalam serangan semacam itu.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan Trump akan membantu Ukraina dengan serangan jarak jauh. AS telah meminta sekutu NATO untuk memberikan dukungan serupa kepada Ukraina. Bahkan kemungkinan AS memasok Ukraina dengan rudal Tomahawk dan Barracuda sedang dipertimbangkan.
Berdasarkan berita ini, dapat diasumsikan bahwa Rusia telah menolak persyaratan AS untuk menyelesaikan krisis Ukraina.
Seperti diketahui, Rusia bersikeras, beberapa bulan sebelum pertemuan presiden AS dan Rusia di Alaska, bahwa sebagai prasyarat Ukraina harus mengakui Krimea dan wilayah pendudukan di Ukraina timur sebagai wilayah Rusia. Tampaknya Rusia, setelah belajar dari pengalaman pahit perjanjian Minsk, ia kini menyadari betul bahwa konflik beku lainnya dengan imbalan konsesi kepada AS akan seperti digigit lagi oleh ular yang sama. Pada tahun 2015, Rusia—yang mempercayai janji AS untuk mengabaikan agresinya terhadap Ukraina—melakukan intervensi dalam konflik Suriah atas nama antek Amerika, Basyar al-Asad. Sehingga hal ini menyebabkan perpanjangan kekuasaan Asad di Suriah, karena AS belum menemukan pengganti yang tepat untuknya.
Pada tahun 2022, ketika Rusia menyadari bahwa tidak ada yang berniat mengakui kendalinya atas Krimea yang dianeksasi dan Donbas yang diduduki, Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina.
Pada akhir tahun 2024, rezim Asad telah kehabisan tenaga dan digantikan oleh Ahmad al-Syara’ yang didukung Turki. Rusiag menyadari bahwa selama ini dirinya telah dimanfaatkan, lalu diusir dari Suriah.
Sejak saat itu, Rusia memahami bahwa gencatan senjata atau pembekuan konflik di Ukraina sama saja dengan bunuh diri. Itulah sebabnya Rusia bersikeras agar kendalinya atas Krimea dan Donbas diakui.
Sedangkan posisi negosiasi AS terkait Ukraina, hal ini melampaui krisis saat ini. Intinya, AS memanfaatkan konflik di Ukraina untuk memaksa Rusia bekerja sama dalam menghadapi China.
Saat ini, China dikelilingi di tiga sisi oleh sekutu AS, yang terpenting adalah Jepang, Korea Selatan, India, dan Pakistan, beserta negara-negara regional lainnya.
Kemungkinan aliansi antara Rusia dan China akan membuka peluang China untuk keluar dari semi-kepungan ini dan mendapatkan akses ke sumber daya alam Rusia yang melimpah, sehingga hal ini dapat semakin mengokohkan kekuatan militer dan ekonomi China.
Mengenai sikap China, maka China tetap berhati-hati. China tidak siap untuk secara aktif mendukung Rusia dengan mengorbankan hubungan dagangnya yang luas dengan AS dan Uni Eropa.
Perlu dicatat bahwa AS ingin tetap membuka sedikit ruang. AS tidak menginginkan penyelesaian penuh atas krisis Ukraina, karena Rusia yang terjebak dalam invasinya sendiri jelas akan lebih fleksibel. Penyelesaian penuh atas krisis Ukraina dengan imbalan tindakan bersama melawan China akan memungkinkan Rusia, kapan saja, untuk berpaling dari Barat dan merangkul China.
Di sisi lain, luka baru Rusia setelah pengusirannya yang memalukan dari Suriah mengingatkannya bahwa menyetujui kesepakatan lain gaya Minsk akan membuatnya seperti menginjak papan berpaku yang sama dua kali.
Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Trump, segera setelah perundingan, menyatakan: “Sekarang, semuanya benar-benar bergantung pada Presiden Zelensky untuk menyelesaikan tugasnya.”
Patut diingat bahwa Trump ini sama dengan Trump yang pada 28 Februari 2025, memarahi Presiden Zelensky di Ruang Oval, yang mengklaim bahwa ia tidak memiliki argumen yang kuat dan sepenuhnya bergantung pada pasokan senjata Amerika.
Di sisi lain, Ukraina dipastikan menolak persyaratan Rusia untuk mengakui Krimea dan Donbas sebagai wilayah Rusia. Pada tanggal 15 September 2025, Menteri Keuangan Ukraina Serhiy Marchenko pada dasarnya mengakui bahwa perundingan damai telah gagal, dengan mengatakan: “Kita perlu mempersiapkan militer dan rakyat untuk menghadapi perang satu tahun lagi, maka hal ini akan membutuhkan lebih banyak dana.”
Pada 19 September, Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, Rustem Umerov, kepala negosiator Ukraina, menyatakan: “Ukraina saat ini tidak sedang bernegosiasi dengan Rusia untuk mengakhiri perang.”
Hanya beberapa hari kemudian, mulai 23 September, Presiden Trump secara radikal mengubah retorikanya terhadap Rusia dan invasinya ke Ukraina.
Sebagai kesimpulan, perlu dicatat bahwa krisis Ukraina sekali lagi menegaskan bahwa negara-negara dengan kedaulatan, sumber daya, nyawa, dan darahnya masih menjadi sandera dalam perebutan kekuasaan di antara negara-negara adidaya.
Bahkan negara-negara adidaya yang menampilkan diri sebagai sahabat dan pembela negara-negara tertindas, pada kenyataannya, justru merupakan pemicu utama konflik dan penerima manfaat utama darinya. Semua pembicaraan tentang hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan merdeka, hak asasi manusia, dan kepedulian terhadap perempuan, lansia, dan anak-anak hanyalah kedok untuk menutupi politik keji yang mereka mainkan. Keadaan ini akan terus berlanjut hingga pemerintahan ilahi yang sejati tegak kembali di dunia, yaitu pemerintahan dalam bentuk Khilafah Rasyidah Kedua ’ala minhājin nubuwah, yang tujuan sejatinya adalah kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan slogan-slogan kosong.
﴿فَسَيُنْغِضُونَ إِلَيْكَ رُؤُوسَهُمْ وَيَقُولُونَ مَتَى هُوَ قُلْ عَسَى أَن يَكُونَ قَرِيباً﴾
“Mereka akan menggeleng-gelengkan kepalanya kepadamu (karena takjub) dan berkata, ‘Kapan itu (akan terjadi)?’ Katakanlah, ‘Barangkali waktunya sudah dekat’.” (TQS. Al-Isrā’ [17] : 51). [] Fadil Amzaev – Kepala Kantor Media Hizbut Tahrir di Ukraina
Sumber: hibz-ut-tahrir.info, 9/10/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat