Tipu-tipu Demokrasi di Tengah Pandemi

Oleh: Iwan Januar
Ibarat mengail di air keruh, itulah yang dilakukan pemerintah di tengah pandemi dengan menerbitkan Perppu 1/2020 dan UU Minerba. Dua produk hukum itu dikecam banyak kalangan karena melabrak banyak ketentuan serta hanya menguntungkan eksekutif dan segelintir konglomerat.
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 berisi Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang biasa disebut Perppu Corona. Namun ada sejumlah keganjilan dalam terbitnya Perppu tersebut baik menyangkut konten maupun mekanisme lahirnya Perppu tersebut.
Terkait konten, sejumlah pasal dinilai banyak kalangan termasuk sejumlah praktisi hukum juga anggota dewan bermasalah. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) misalnya mengeluarkan kritik tajam terkait materi muatan Perppu No. 1/2020.
Menurut mereka, Perppu ini berpotensi mengembalikan absolute power dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Presiden. Pasal 12 Perppu No. 1/2020 telah memberikan ruang kepada Presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Perpres.
Hal ini sama saja dengan menghilangkan checks and balances. Ini sama saja menjadikan Presiden memiliki kekuasaan absolut dalam menentukan anggaran negara tanpa persetujuan dari rakyat melalui DPR. Pasal tersebut juga berarti mengebiri hak budgeting DPR.
Selanjutnya, Perppu ini juga sudah menghilangkan peran pengawasan DPR terhadap penggunaan anggaran oleh pemerintah. Bukan itu saja, substansi dari Pasal 27 Perppu No. 1/2020 juga menyebabkan hilangnya kewenangan lembaga yudisial dalam menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat publik dalam penanggulangan Covid-19 menjadi hilang. Pasal ini dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada semua pihak yang disebutkan dalam Perppu No. 1/2020, termasuk juga pengguna anggaran.
Terkait dengan imunitas hukum terhadap pemerintah, Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (Giad) memandang pasal-pasal tersebut sama dengan melegalkan praktik korupsi dan memberi imunitas kepada pemerintah dalam mengelola uang negara selama pandemi Covid-19. Hal ini tentu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, serta pelanggaran terhadap prinsip rule of law, dimana equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya.
Lebih parah lagi, Perppu ini justru tidak mencirikan kebutuhan spesifik terkait dengan penanganan Covid-19 di Indonesia. Dalam Perppu ini, tidak tergambar secara jelas bagaimana public health policy yang diharapkan masyarakat dalam menanggulangi pandemi ini. Karena seperti tertuang dalam Pasal 11 tentang pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional, kemudian pemerintah mengeluarkan Perpres No 54 yang menyebutkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan sebesar Rp405,1 triliun yang terdiri atas insentif kesehatan Rp75 triliun, insentif sosial safety net Rp110,1 triliun, insentif terhadap industri Rp70,1 triliun, dan insentif pemulihan ekonomi Rp150 triliun.
Kelihatan nilai insentif kesehatan dan sosial safety net justru kalah dibanding insentif terhadap industri dan pemulihan ekonomi. Sehingga jelas justru bukan kesehatan rakyat serta jaminan sosialnya yang terlindungi dari Perppu ini, tapi malah para pengusaha.
Pemerintah sepertinya tidak malu lagi gunakan jurus aji mumpung pandemi. Ketika semua konsentrasi khalayak tertuju pada penyebaran virus corona, pemerintah bersama DPR menggolkan RUU Minerba memperbarui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Undang-undang ini dikupas banyak pihak bukannya bermanfaat bagi rakyat, tapi justru kaum konglomerat, khususnya para pengusaha raksasa batu bara. RUU Minerba ini diterima semua fraksi kecuali dari Partai Demokrat.
UU Minerba yang baru ini hanya menguatkan kenyataan bahwa pemerintah memang selalu berpihak pada korporat. Terdapat banyak pasal yang menguntungkan tujuh pemain lama dunia tambang batu bara; PT Tanito Harum, PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Energy, PT KPC, PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung dan PT Berau Coal.
Melalui Pasal 42 dan Pasal 42A pengusaha pertambangan mineral dan batu bara diberikan akses yang kian mudah dalam menguasai lahan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah 2 tahun.
Dengan UU baru, pengusaaan tanah dalam skala besar oleh pengusaha tambang setidaknya 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan. Penguasaan lahan lebih lama ini dinilai berpeluang untuk land banking, yakni penyimpanan dan penguasaan lahan dalam skala besar dalam jangka waktu panjang.
Jelas pasal ini menguntungkan perusahaan-perusahaan besar yang telah menguasai hampir 70% produksi batu bara dalam negeri. Dan terdapat masa kontrak yang akan habis di tahun ini, 2022, 2023, dan 2025. Alhasil untuk perusahaan yang masa kontraknya akan habis pada 2025 pun bisa melakukan perpanjangan kontrak mulai dari di periode sekarang. Bukankah ini kongkalikong canggih pengusaha dan penguasa?
Tak hanya substansinya saja yang bermasalah, tapi proses pembahasannya patut dicurigai. Peneliti Auriga, Iqbal Damanik, menyebutkan pembahasan perundangan ini seharusnya batal karena tidak memenuhi prinsip transparansi. Naskah Akademis maupun draf RUU Minerba tidak pernah dipapar secara resmi melalui situs DPR atau Pemerintah. Selain itu, rapat panja pada 6 Mei 2020 dibuat tertutup dan tiba-tiba muncul agenda pengambilan keputusan tingkat 1 pada 11 Mei 2020.
Lengkap sudah dagelan politik demokrasi ala pemerintah dan DPR. Kalau sudah begini apa yang mau diharapkan? Sama sekali tak ada keberpihakan eksekutif maupun legislatif pada para konstituennya, kecuali pada para investor politik. Aneh kalau mereka masih mengaku-aku sebagai orang yang paling berpihak pada rakyat, kenyataannya justru memperdaya rakyat.
Perppu Corona dan Mitos-Mitos Palsu Demokrasi
“Hak budget itu, jantungnya kekuasaan DPR dan dijamin pula dalam konstitusi. Kalo jantungnya dicopot, matilah dia.”
Begitulah alasan Benny K Harman dari Fraksi Demokrat di DPR-RI saat menolak Perppu Corona. Sebagaimana tulisan sebelumnya, Perppu Corona yang disahkan pemerintah memang sarat masalah. Di antaranya menghilangkan peran wakil rakyat dalam melakukan check and balances terhadap penyusunan anggaran. Lebih jauh lagi, pasal-pasal dalam Perppu itu justru menghilangkan hak budget milik DPR yang dianggap sebagai perwujudan suara rakyat.
Namun kenyataan di gedung bundar saat pengesahan Perppu tersebut menggambarkan kalau demokrasi yang dimitoskan sebagai sistem pemerintahan yang mengakomodir suara rakyat, dan berjalan atas kedaulatan rakyat, justru Cuma bualan. Toh, buktinya Perppu tersebut tetap disahkan. Segelintir saja wakil rakyat yang tak sepakat. Padahal seperti dikatakan Benny K Harman, Perppu itu malah mengebiri hak-hak anggota dewan. Artinya, mayoritas wakil rakyat setuju kalau hak mereka dikebiri. Bukannya itu berarti mereka mengkhianati amanat konstituen mereka dalam sistem demokrasi?
Demokrasi, seperti kata Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln; berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem politik ini dipercayai para pengusungnya punya kebaikan lebih banyak ketimbang kediktatoran atau kekuasaan tunggal. Kala itu demokrasi dihadapkan vis a vis dengan sistem monarki yang menganut kekuasaan absolut pada raja dengan segala privelege dan hak prerogatifnya.
Para kaisar berprinsip l’etat c’est moi, negara adalah saya, sehingga segala titah raja adalah titah negara. Di atas itu, kuasa kaisar juga dipandang sama dengan patria protestas, kuasa kebapakan, hak legal seorang bapak atas hidup/mati anak-anaknya. Maka Kaisar juga memilik hak serupa pada rakyatnya. Maka demokrasi adalah antitesa-nya dengan berpinsip vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Kepala negara itu diangkat dengan transaksi politik untuk jalankan aspirasi rakyat. Bukan raja/presiden/kepala negara yang berkuasa, tapi rakyatlah pemilik kedaulatan sejati.
Kemudian datanglah Montesquieu dengan trias politica-nya memecah kekuasaan dalam demokrasi menjadi tiga bagian: eksekutif, legislatif, yudikatif. Para pemikir demokrasi seperti Montesquieu, Locke juga Lord Acton mencemaskan bila kekuasaan yang absolut akan melahirkan penyimpangan. Absolute power, corrupts absolutely, sitir Acton.
Tapi das sein, das solein. Lain cita, lain realita. Montesquieu, Locke, ataupun Acton mungkin tidak menyangka bila demokrasi justru tidak akan pernah bisa berpihak pada rakyat. Ada kekuatan lain yang bisa memanipulasi dan merampok kedaulatan rakyat; parpol dan korporat.
Indonesia di era Jokowi dengan Perppu Corona dan UU Minerba 2020 adalah contoh baik kalau demokrasi adalah pemerintahan yang berpihak pada rakyat adalah ilusi. Perppu Corona malah berisi pasal-pasal yang mengukuhkan negara untuk memiliki kekuasaan absolut dalam penyusunan APBN. Perppu itu mematikan hak budget dan check and balances DPR terhadap pemerintah dalam penyusunan dan pemakaian anggaran.
Bahkan dalam Perppu Corona, misalnya Presiden dapat menyusun APBN hanya dengan Perpres. Kemudian Perppu itu juga memberikan imunitas atas setiap kemungkinan penyimpangan penggunaan anggaran. Artinya fungsi pengawasan dan sanksi yang digagas teori trias politika dengan pembagian kekuasaannya sudah mati.
Ironinya DPR sendiri dengan suara mayoritas mengesahkan Perppu yang mematikan fungsi mereka, juga fungsi yudikatif. Tidak heran karena di era Jokowi praktek oligarki kekuasaan sudah hingga ke legislatif bahkan juga yudikatif. DPR sudah dikuasai oleh parpol-parpol pendukung rezim. Merekalah yang dengan suara mayoritas menggulung peran legislatif. Secara teori legislatif harusnya berperan dalam mengawasi jalannya kekuasaan eksekutif, lalu yudikatif sebagai peniup peluit dan memberikan kartu hukuman bila terjadi pelanggaran.
Sementara UU Minerba 2020 memperlihatkan betapa kuasanya korporat – dalam kasus ini perusahaan tambang — dalam mendesakkan kepentingan mereka pada negara. Pemerintah menutup mata bila pertambangan batu bara di tanah air bermasalah dan kerap merugikan masyarakat.
Studi menunjukan bahwa tambang malah mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat di sekitarnya. Pada 2015, studi yang dilakukan ekonom dari Australian National University, Budi Resosudarmo, dan Sambit Bhattarcharya dari University of Sussex menunjukkan bahwa pertumbuhan tambang di Indonesia cenderung meningkatkan rasio penduduk miskin hingga 1,72 persen. Studi yang dilakukan Ahmad Zaini dari Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara pada 2017 pun menyatakan bahwa sektor batu bara berkorelasi positif terhadap ketimpangan pendapatan.
UU Minerba yang baru juga berbau otoriter. Terdapat ancaman kriminalisasi dan pemidanaan terhadap warga penolak tambang karena dianggap merintangi dan mengganggu kegiatan usaha pertambangan akan diancam pidana satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta.
Kalau sudah begini, sebaiknya pemerintah juga rakyat mengakui kalau demokrasi tidak memberi yang lain kecuali mitos yang penuh ilusi. Tak ada namanya hak rakyat diakomodir apalagi dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Demokrasi sudah dikuasai oleh oligarki parpol dan korporat. Merekalah yang mengeruk untung besar dari praktek demokrasi.
Korporat bersama politisi dan parpol berkelindan sejak dini agar bisa mendapatkan keuntungan pada periode presiden berikutnya. Dengan modal besar korporat bisa melakukan investasi politik; membeli para politisi dan menguasai media. Hasilnya bisa mereka rasakan ketika pemerintahan baru yang mereka sokong terpilih. Mereka tinggal menuai keuntungan hasil investasi politik.
Para politisi pun berebut mendatangi pemilik modal untuk bisa melaju ke kursi dewan ataupun pemerintahan, karena mereka tahu butuh modal tidak sedikit untuk bisa mendapatkan semua itu. Terikatlah parpol dan politisi pada kontrak politik transaksional dengan para pemilik modal. Mereka hanya boneka kekuasaan pemilik perusahaan raksasa dalam maupun luar negeri.
Sementara itu, rakyat hanya mendapat janji-janji kosong selama kampanye, untuk kemudian ditelantarkan selama lima tahun ke depan. Masih betah dengan aturan macam begini?