Tidak Ada Satupun yang Membela Muslim Uighur

Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi visa kepada pejabat Thailand karena mendeportasi 40 warga Uighur ke China, tempat mereka menghadapi penganiayaan. Departemen Luar Negeri AS bertujuan untuk melawan tekanan China terhadap pemerintah Thailand untuk memulangkan warga Uighur, yang menghadapi risiko penyiksaan dan penghilangan paksa. Meskipun ada peringatan dari para ahli PBB, Thailand mendeportasi mereka Februari lalu.
Proyek Uighur menyambut baik sanksi tersebut, namun mengkritik kegagalan sistem internasional dalam melindungi tahanan. Amerika Serikat dan Kanada telah menawarkan untuk memukimkan kembali 48 warga Uighur, tetapi Thailand khawatir akan membuat marah China. Sanksi tersebut dimaksudkan untuk mencegah deportasi di masa mendatang dan meminta pertanggungjawaban pihak yang bertanggung jawab (alhurra.com, 14/3/2025).
**** **** ****
Muslim Uighur terus hidup dalam kondisi ketidakamanan yang permanen, baik di dalam maupun di luar China. Di dalam negeri, mereka menghadapi pembatasan berat terhadap kebebasan beragama. Selama bulan Ramadhan, mereka diawasi dengan ketat untuk mencegah mereka berpuasa, bahkan lebih dari satu juta dari mereka telah ditahan di kamp yang disebut kamp pendidikan ulang, di mana mereka dipaksa untuk meninggalkan Islam dan ajaran-ajarannya, lalu menggantinya dengan nasionalisme dan komunisme China.
Di luar China, orang Uighur tidak menemukan tempat berlindung yang aman. Di negara-negara yang memiliki hubungan kuat dengan China, termasuk negeri-negeri Islam, mereka sering kali tidak mendapatkan perlindungan. Banyak dari mereka melarikan diri dari China untuk mencari keselamatan bagi diri mereka dan agama mereka, namun menghadapi deportasi paksa kembali ke China. Insiden deportasi paksa di Mesir, Arab Saudi, dan UEA menunjukkan bahwa negeri-negeri Islam pun tidak berpihak pada mereka. Hal ini dapat dipahami dalam konteks hubungan politik dan ekonomi negara-negara tersebut dengan China.
Adapun Amerika, yang tampaknya membela hak asasi Uighur, mereka melakukannya bukan karena kepedulian yang tulus terhadap hak asasi manusia mereka, tetapi malah menggunakan hak mereka sebagai alat politik dalam konteks persaingan globalnya dengan China. Mereka mengeksploitasi masalah Uighur untuk mendistorsi citra China dan merusak reputasi internasionalnya. Jika tidak ada persaingan geopolitik dengan mereka, pasti mereka tidak akan terlalu peduli dengan penderitaan Muslim Uighur. Kontradiksi ini dapat dilihat dari sikapnya terhadap penganiayaan terhadap umat Islam di Myanmar dan India, dimana Amerika belum mengambil tindakan serius apa pun untuk membela mereka.
Saat ini, Islam dan umat Islam telah menjadi sekadar alat politik yang digunakan oleh berbagai rezim global. Sementara para penguasa Muslim mengutamakan kepentingan nasional mereka di atas segalanya, dan berusaha memelihara hubungan baik dengan negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat, sambil menutup mata terhadap penderitaan umat Islam yang dianiaya dan dibunuh oleh musuh-musuh Islam, tanpa mengambil langkah serius untuk membantu mereka.
Situasi ini pada akhirnya mengungkap kelemahan nasionalisme, gagasan yang telah mendominasi negeri-negeri Islam sejak runtuhnya Khilafah tahun 1924. Nasionalisme telah memecah belah umat Islam, membuatnya rentan terhadap kelemahan material dan intelektual, serta mempermudah bagi kekuatan-kekuatan global utama untuk memanipulasi dan melemahkannya. [] Abdullah Aswar
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 19/3/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat