MediaUmat – Direktur The Economics Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo mengungkapkan proyek Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) Whoosh adalah model pembangunan ala kapitalisme yang dibangun bukan karena kebutuhan masyarakat tapi ambisi politik.
“KCIC model pembangunan ala kapitalisme itu memang membangun bukan karena kebutuhan masyarakat tapi membangun sekadar untuk ambisi politik, untuk pencitraan, untuk gengsi semata,” ujarnya dalam Kabar Petang: Saudi Bikin Kereta 10X Lebih Panjang, Tapi biayanya sama, Aneh Nggak Sih? di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (1/11/2025).
Karena, menurutnya, KCIC saat ini menghadapi tekanan pembiayaan yang sangat serius, dengan akumulasi kerugian Rp1,6 triliun.
“Proyek Whoosh ya pada awalnya memang dijanjikan sebagai simbol kemajuan transportasi nasional. Namun kini menunjukkan realitas ekonomi kapitalistik berbasis utang dan proyeksi ambisi politik yang terlalu optimis,” bebernya.
Selama model bisnis dan integrasi sistemik tidak dibenahi, lanjutnya, kerugian KCIC ini berpotensi terus berulang dan menjadi masalah jangka panjang bagi ekosistem Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan fiskal nasional.
“Nah, kerugian tersebut menunjukkan bahwa pendapatan operasional kereta Whoosh tidak mampu menutup biaya tetap dan bunga pinjaman yang besar,” tuturnya.
Sehingga, tutur Yuana, selama tingkat okupansi penumpang belum sampai titik impas arus kas KCIC akan terus defisit.
“Bagaimana lagi, sejak awal kan memang memang proyeksi pemerintah rezim kemarin, rezim sebelum sekarang menargetkan penumpang KCIC itu kan lebih dari 30.000 per hari. Sementara realisasinya harian sekarang ini rata-rata hanya mencapai sekitar 15.000 sampai 18.000 kurang lebih ya 50%-nya saja,” tuturnya.
Karena, jekas Yuana, Whoosh atau KCIC itu belum menjadi kebutuhan mobilitas massa, belum diminati oleh masyarakat secara umum, melainkan hanya bersifat simbolik dan terbatas di segmen tertentu.
“Nah, kemudian tentu memiliki implikasi ya secara makro jelas menjadi beban laten negara, karena meskipun diklaim tidak menggunakan Anggaran Pembelanjaan Belanja Negara (APBN) secara langsung, pada praktiknya BUMN yang terlibat tetap mendapat suntikan modal dan jaminan pemerintah.
“Hingga kini bahkan ya belum ada solusi tuntas ya kemarin Menteri Keuangan Pak Purbaya itu tidak mau menanggung beban biaya ya utang itu, jadi memang belum ada solusi tuntas,” bebernya.
Beberapa opsi lanjutnya, sudah pernah digulirkan, misalnya menambah rute, terus kemudian memperluas jaringan feeder atau menurunkan tarif sementara.
“Tapi solusinya ya tetap saja tambal sulam belum menyentuh akar persoalan, model bisnis KCIC yang terancam tidak berkelanjutan ini,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat