Tarif Impor AS Naik, Momentum Tepat Negeri-Negeri Muslim Bangkit

Mediaumat.info – Guncangan sistem perdagangan global akibat kebijakan penaikan tarif impor yang digencarkan oleh pemerintahan Amerika Serikat (AS) saat ini, dinilai sebagai momentum tepat bagi negeri-negeri Muslim untuk bangkit.
“Inilah saat yang tepat bagi negeri-negeri Muslim untuk bangkit dan memanfaatkan peluang strategis ini,” ujar Pembina Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar kepada media-umat.info, Jum’at (11/4/2025).
Untuk itu, sebagaimana organisasi kerja sama antar pemerintah semisal BRICS+, SCO, dan RCEP yang semakin solid, dunia Islam bisa memanfaatkan peluang strategis ini dengan beberapa langkah.
Pertama, menyatukan visi politik dan ekonomi Islam dengan cara mengedukasi para pemimpin Muslim bersama umat tentang pentingnya sistem ekonomi syariah yang kaffah.
Tetapi, kata Fahmi mengingatkan, membangun kesadaran umat secara solusi jangka panjang di sini bukan sekadar substitusi dagang, namun transformasi sistem.
Kedua, mendirikan pasar bersama dunia Islam (common islamic market) dengan jalan menghapus tarif dan hambatan nontarif antarnegara Muslim.
Ketiga, meninggalkan ketergantungan pada mata uang dolar Amerika (USD). Dan seiring dengan itu, umat mengembangkan local currency settlement atau penggunaan mata uang masing-masing negara dalam penyelesaian transaksi bilateral.
Ditambah, umat juga perlu membangun sistem pembayaran dan bursa syariah lintas negara Islam, dan mengeksplorasi mata uang digital berbasis emas (E-Dinar).
Keempat, membangun blok kekuatan geopolitik Islam. Dengan terlebih dahulu merevitalisasi kerja sama multilateral D8 dan OIC/OKI, misalnya, lantas kemudian membentuk dewan kebijakan ekonomi Islam dunia.
Kelima, mengarusutamakan dakwah tentang sistem Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam hal ini, kata Fahmi kembali menuturkan, menawarkan Islam sebagai solusi peradaban bukan hanya sebagai agama.
Sedangkan, untuk memenangkan opini publik, umat bisa menggencarkan melalui berbagai macam media, akademisi, maupun think thank Muslim.
Dengan demikian, meski kebijakan unilateral dan eksklusif ini dianggap sebagai upaya untuk menyelamatkan ekonomi AS, tetapi secara tidak langsung, justru membuka peluang bagi dunia non-Barat, khususnya dunia Islam, untuk bangkit dan mandiri.
“Inilah momentum emas untuk membangun kekuatan kolektif umat, sebagaimana yang dahulu pernah menjadi pusat peradaban dunia,” tegas Fahmi kembali.
Dengan kata lain pula, di saat dunia kehilangan keadilan dalam sistem kapitalis global, maka Islam adalah satu-satunya alternatif yang adil, stabil, dan sesuai fitrah manusia dan negara.
“Jika umat Islam berhasil bersatu dalam satu negara dan satu sistem, maka kekuatan politik, militer, dan ekonominya akan melampaui seluruh negara di dunia,” tandasnya, mengutip pernyataan Ulama Syekh Taqiyuddin an-Nabhani.
Risiko Tinggi
Menurut Fahmi, kebijakan yang digagas kembali oleh Presiden AS Donald Trump seperti dalam kampanye pilpresnya tahun 2024–2025, terutama wacana kenaikan tarif universal 10 persen atas seluruh barang impor, merupakan langkah strategis proteksionisme ekonomi yang sangat berisiko tinggi.
Bukan hanya mengguncang sistem perdagangan global, kebijakan ini juga berpotensi membuka peluang bagi lahirnya kekuatan ekonomi baru di luar AS, termasuk dari dunia Islam.
Tak hanya itu, sambungnya, kebijakan Trump secara ekonomi murni bisa disebut bunuh diri ekonomi jangka panjang, dikarenakan beberapa hal.
Sebutlah di antaranya, kegiatan ekonomi AS pada dasarnya bergantung pada rantai pasok global. “Barang-barang manufaktur Amerika sangat banyak diproduksi di luar negeri, mulai dari semikonduktor, barang elektronik, hingga bahan baku industri berat,” ungkap Fahmi.
Pun penaikan tarif akan menaikkan biaya hidup rakyat AS sendiri. Dalam hal ini harga barang produk impor yang otomatis naik, juga akan menaikkan inflasi.
Bahkan kebijakan tarif AS berpotensi menjadikan negara lain membalas hal serupa. Sehingga ketika kondisi perekonomian dianggap tidak stabil atau mempersulit rantai pasok, bisa dipastikan pula investasi asing akan menjauh dari pasar AS.
Artinya, pungkas Fahmi, dalam jangka pendek mungkin memberi efek “nasionalistik” positif di kalangan pemilih Trump. Namun karena kesombongan secara politik dan dagang, dalam jangka panjang AS justru tengah menyiapkan liang kubur ekonominya sendiri.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat