Tak Sampaikan LHKPN, Dinilai Miliki Korelasi dengan Tindak Kejahatan Korupsi
Mediaumat.news – Pejabat negara yang tak menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dengan baik dan benar atau seperti diungkap Deputi Penindakan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan sebagai perilaku menyembunyikan harta kekayaan, dinilai Pengamat Kebijakan Publik Dr. Nasrul Faqih Syarif Hasyim, M.Si. memiliki korelasi dengan tindak kejahatan korupsi di Indonesia.
“Perilaku pejabat yang kemudian hampir 95 persen dia tidak mau lapor, menyembunyikan kekayaannya, sebenarnya menjadi fenomena yang menurut saya sebenarnya ada korelasinya dengan korupsi di Indonesia,” ujarnya dalam Kabar Petang: 95% Pejabat Negara Masih Sembunyikan Harta? Rabu (08/09/2021) di kanal YouTube KC News.
Menurutnya, perilaku tersebut menjadi ranah komisi pemberantasan korupsi (KPK) untuk menelusuri asal-usul perolehan harta para pejabat negara. Oleh karena itu, meski telah dilemahkan, KPK harus bisa membuktikan bahwa mereka masih memiliki taji menangani kasus yang terindikasi korupsi.
Namun ia memandang, korupsi di Indonesia agaknya menjadi persoalan yang kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat.
Bahkan, lanjut Faqih, koran Singapura, The Strait Time, pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak, atau yang lain. “Pendek kata, segala urusan semua bisa lancar, bila ada ‘amplop’,” timpalnya.
Apalagi dengan semakin sedikit atau rendahnya pengungkapan kasus kejahatan korupsi, KPK ia nilai telah membuktikan di dalam menangani korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, tetapi setengah hati dan tidak sungguh-sungguh.
Solusi Islam
Menjawab persoalan yang demikian, Faqih menawarkan solusi pemberantasan korupsi yang sangat gamblang serta mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih. “Bagaimana Islam menjelaskan ini semua? Nanti ini akan nampak bahwa ternyata syariat Islam itu begitu luar biasa,” tuturnya.
Pertama, lanjut Faqih, penerapan sistem penggajian yang layak. Menurutnya, para birokrat tetaplah manusia biasa yang memiliki kebutuhan hidup dan kewajiban mencukupi nafkah keluarganya.
“Prinsip pemberian gaji rendah kepada pegawai itu membuka kemungkinan perolehan tambahan pemasukan, baik yang halal dan yang haram dan sudah semestinya ditinjau ulang. Meski gaji besar memang tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi menjadi pemicu korupsi,” tuturnya sembari mengutip Hadits Rasulullah SAW riwayat Abu Dawud yang berbunyi:
‘Barangsiapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, maka akan disediakan rumah. Jika belum beristri, hendaknya menikah. Jika tidak mempunyai pembantu, maka hendaknya mengambil pelayan. Jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kalau sekarang kendaraan), maka hendaknya diberi. Dan barangsiapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan.’
Kedua, sebagaimana juga dalam hadits, Rasulullah SAW berkata dalam riwayat Ahmad, hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur, maka menerima suap dan hadiah bagi aparat sangat dilarang. “Ini yang tadi saya bahasakan dengan upeti. Jadi kalau kemudian orang ingin jabatan tertentu, ya bahasanya itu ada yang upeti, kalau yang mengenal agama bilangnya bisyarah dan sebagainya (itu dilarang),” tandasnya.
Ketiga, upaya pembuktian terbalik sebagai metode membuktikan bahwa perbedaan jumlah harta setelah menjabat dengan sebelumnya, diperoleh dengan cara syar’i atau tidak. Apabila tidak bisa, maka kelebihan itu diserahkan ke baitul mal/negara.
Keempat, terkait ketidakmampuan seorang pejabat untuk membuktikan atas kelebihan hartanya sebagaimana metode pembuktian terbalik, atau justru kelebihan hartanya terbukti merupakan hasil dari korupsi, maka penerapan hukuman ta’zir yang setimpal bisa dijatuhkan berdasarkan ijtihad sang kepala negara.
“Hukuman ta’zir, yang pertama berupa pewartaan, diarak keliling kota, kemudian ditayangkan, kalau ada TV kan sekarang ditayangkan di TV seperti yang pernah dilakukan, kemudian penyitaan harta, kemudian dilakukan hukuman kurungan bahkan (bisa) sampai hukuman mati,” jelasnya.
Kelima, keteladanan dari pemimpin. Kurangnya keteladanan seorang pemimpin yang benar-benar bersih dari unsur korupsi, berdampak pada upaya pemberantasan korupsi yang tidak akan pernah berhasil. “(Semestinya) dengan takwanya itu seorang pimpinan melaksakan tugasnya dengan amanah. Dengan takwanya pula ia takut kalau dia melakukan penyimpangan-penyimpangannya,” tambahnya.
Keenam, pengawasan masyarakat yang menurut Faqih paling penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Ia mengatakan, masyarakat bisa saja berperan menyuburkan atau bahkan menghilangkan tindak kejahatan korupsi.
Lebih detail ia mengatakan, masyarakat yang bermental instan, akan cenderung tidak segan menempuh jalan pintas, baik memberi suap atau hadiah dalam berurusan dengan aparat. Sementara, masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dengan menolak aparat yang mengajaknya menyimpang. “Di sinilah kemudian masyarakat kita juga punya kepedulian,” ujarnya.
Dengan demikian, tegas Faqih, betapa sangat pentingnya penegakan syariat Islam. “Luar biasa kalau Islam diterapkan. Dan itulah pentingnya kenapa penegakan syariat Islam itu menjadi sesuatu yang penting,” pungkasnya.[] Zainul Krian