Tahun Kehancuran Para Tiran dan Syarat-Syarat Pemberdayaan Ilahi

Jatuhnya tiran Assad, dan pelariannya ke luar negeri pada tanggal 8 Desember 2024, di Suriah merupakan peristiwa penting. Peristiwa ini menuntut kita untuk merenungkan hukum ilahi tentang kemenangan dan pemberdayaan (at-tamkīn, empowerment) yang dalam konteks organisasi atau masyarakat adalah proses memberikan kekuatan, kemampuan, dan wewenang kepada individu atau kelompok agar dapat mengambil keputusan, bertindak, dan mencapai tujuannya sendiri.
Cukup hanya sebelas hari aksi militer untuk menyebabkan keruntuhan Bashar, pasukannya, dan semua milisi yang setia kepadanya. Sementara itu, kekuatan internasional, seperti Amerika Serikat dan Rusia, tercengang oleh peristiwa tersebut, tidak mampu menyelamatkan dan mencegah kejatuhan antek mereka. Kekuatan-kekuatan ini dipaksa untuk menerima status quo dan menghadapi kenyataan baru serta pemerintahan baru, yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan politik dan keamanan yang muncul, setelah jatuhnya Bashar sang penjahat.
Komando operasi militer tiba di Damaskus di bawah pimpinan Ahmed al-Sharaa, yang diangkat sebagai presiden fase transisi pada 29 Januari 2025. Ia meminta bantuan beberapa mantan pemimpin Hai’ah Tahrir al-Syam (HTS) untuk menduduki posisi kekuasaan dan pemerintahan.
Tidak diragukan lagi bahwa pertempuran pembebasan Suriah merupakan anugerah ilahi yang besar, umumnya bagi penduduk Syam, dengan membebaskan mereka dari penindasan, dan khususnya bagi mereka yang Allah SWT angkat ke tampuk kekuasaan, untuk menguji kemampuan mereka dan sejauh mana kelayakan mereka untuk diberdayakan sesuai dengan ketentuan syariah. Allah SWT berfirman,
﴿قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.” (TQS. Ali Imran [3] : 26).
Kita temukan dalam kisah Nabi Musa AS dan Bani Israil bersama Fir’aun, sebuah hukum ilahi yang mengatur perubahan terkait masalah pemberdayaan dan syarat-syarat untuk keberlangsungannya. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an, terkait dengan ucapan Nabi Musa AS:
﴿قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾
“Musa berkata kepada kaumnya: ‘Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; yang akan diwariskan kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa’.” (TQS. Al-A’rāf [7] : 128).
Nabi Musa AS membuat kaumnya bersabar menghadapi kebrutalan yang mereka hadapi dari Firaun dan para pengikutnya, saat ia membantai anak-anak lelaki mereka dan menawan para wanita mereka. Kebrutalan ini meningkat setelah dakwah Nabi Musa AS berhadapan langsung dengan Fir’aun dan kaumnya. Tanggapan kaumnya adalah:
﴿قَالُوا أُوذِينَا مِن قَبْلِ أَن تَأْتِيَنَا وَمِن بَعْدِ مَا جِئْتَنَا﴾
“Mereka (kaum Musa) berkata, ‘Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum engkau datang kepada kami dan setelah engkau datang’.” (TQS. Al-A’rāf [7] : 129).
Maka Musa AS pun menjawabnya:
﴿قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ﴾
“(Musa) menjawab, ‘Mudah-mudahan Tuhanmu membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi; maka Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu’.” (TQS. Al-A’rāf [7] : 129).
Ya, Nabi Musa AS telah mengisyaratkan kemungkinan untuk menghancurkan Fir’aun, namun itu akan terjadi hanya setelah bersabar, memohon pertolongan Allah, dan berjuang sesuai dengan petunjuk ilahi. Kemudian, perintah ilahi datang kepada Musa AS untuk pergi bersama kaumnya, melarikan diri dengan membawa agama mereka, menuju ke laut, tempat dimana Fir’aun dan pasukannya mengalami kehancuran, sebab Allah SWT menenggelamkan mereka, sementara Musa AS dan orang-orang beriman bersamanya diselamatkan.
Ya, Fir’aun, Haman, dan tentara mereka tewas, serta rezim mereka yang memusuhi Allah SWT pun runtuh. Kemudian jalan pun terbuka bagi orang-orang beriman dan Nabi Allah, Musa AS untuk kembali ke Mesir. Allah SWT memberdayakan mereka, memberi mereka tanah sebagai warisan, dan menjadikan mereka sebagai penerus kekuasaan, sehingga mereka memerintah sesuai dengan syariat Allah SWT dan menegakkan keadilan di antara hamba-hamba-Nya.
Akan tetapi, Bani Israel, dalam perjalanan pulang, tidak bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat besar yang telah Allah SWT karuniakan kepada mereka dengan menghancurkan musuh-musuhnya, memberi mereka kekuasaan, dan memberdayakan mereka di muka bumi. Sebaliknya, mereka menyembah anak sapi segera setelah Nabi Musa AS meninggalkan mereka untuk sementara waktu guna menemui Tuhannya di Gunung Tur. Maka, apa akibatnya? Allah SWT murka kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk mengembara di muka bumi. Allah SWT berfirman:
﴿قَالَ فَاِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۚ يَتِيْهُوْنَ فِى الْاَرْضِۗ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفٰسِقِيْنَ﴾
“(Allah) berfirman, ‘(Jika demikian,) sesungguhnya (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun. (Selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka, janganlah engkau (Musa) bersedih atas (nasib) kaum yang fasik itu’.” (TQS. Al-Maidah [5] : 26).
Begitulah hukum Allah pun diterapkan kepada mereka, dengan mencabut kekuasaan mereka dan menghukum mereka dengan kerugian, perpecahan, dan penyebaran.
Jadi, ada pelajaran yang sangat penting bagi para pemimpin pemerintahan Suriah yang baru. Kemenangan sementara yang telah mereka raih bersifat kondisional. Kemenangan tersebut tidak dapat diubah menjadi pemberdayaan (at-tamkīn) permanen kecuali jika syarat-syaratnya terpenuhi. Syarat-syaratnya adalah kedaulatan milik Allah SWT, memerintah menurut syariah Allah, dan mendeklarasikan Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah, yang diperintah oleh seorang Khalifah yang dibaiat untuk memerintah menurut Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya SAW.
Adapun apa yang kita saksikan hari ini, adalah replikasi rezim sebelumnya, berhukum pada konstitusi sekuler, dan penamaan negara sebagai “Republik Suriah”, maka semua ini merupakan kemunduran yang mereproduksi ketidakadilan dan menyia-nyiakan pengorbanan para revolusioner, sebagaimana Bani Israel mengkhianati amanah ketika mereka menyembah anak sapi setelah mereka lolos dari Fir’aun dan penindasannya.
Pemberdayaan (at-tamkīn, empowerment) merupakan anugerah ilahi sekaligus ujian. Siapa saja yang naik takhta, lalu ia mengemban amanah itu dengan baik, serta menegakkan hukum Allah SWT dan keadilan, maka Allah SWT akan memberkahi langkahnya dan membukakan pintu kemenangan untuknya. Sebaliknya, jika ia mengulangi kesalahan para pendahulunya, maka ia akan merasakan pahitnya kekalahan dan kegagalan. Kesempatan telah ada, dan panggungnya sangat penting. Maka, ikutilah jalan Musa AS, lalu raihlah kemenangan di dunia dan akhirat. Atau, mengulangi kesalahan dan dosa Bani Israel, lalu rasakan kekalahan dan kehinaan yang nyata di dunia dan akhirat! [] Al-Ustadz Ahmad Al-Shaurani
Sumber: alraiah.net, 30/4/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat