Survei Sebut Responden Setuju Indonesia Tekan Cina, PKAD: Pemerintah Harus Peka dan Waspada

Mediaumat.id – Analis Senior Pusat kajian dan Analisis data (PKAD) Fajar Kurniawan mengimbau, agar pemerintah peka terhadap laporan Lowy Institute yang menyatakan responden warga Indonesia setuju RI bergabung dengan negara lain untuk menekan pengaruh Cina.

“Harusnya pemerintah peka merespon hasil survei publik ini, dengan betul-betul mewaspadai dan membatasi pengaruh Cina atau bahkan menutup kerja sama dengan Cina,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Jumat (8/4/2022).

Pasalnya, rakyat Indonesia, menurutnya, sepertinya sangat khawatir apabila kekuatan Cina tidak dibendung, Indonesia hanya akan tinggal nama. Sebab kedaulatan negaranya telah dikuasai oleh Cina.

Walaupun mungkin para politisi dan pejabat negara ini menyangkal Indonesia ada dalam pengaruh/dijajah) Cina, tapi faktanya, menurut Fajar, publik terbukti sebagaimana hasil survei, mempersepsikan dan merasakan bahwa memang negara ini sedang dijajah, khususnya dalam aspek ekonomi dengan kedok investasi.

Bagi Fajar, hal itu bisa dilihat dari upaya Cina yang juga mempererat kerja sama pada level pemerintah (government to government/G2G), antarperusahaan (business to business/B2B), maupun swasta-pemerintah (public private partnership/PPP) di bidang pembangunan infrastruktur.

“Cina sangat gencar memberikan utang dan pembiayaan untuk proyek-proyek strategis nasional (PSN) baik melalui skema B2B maupun G2G,” ungkapnya.

Ditambah dengan pendekatan turnkey project, Cina tidak hanya mendukung pembiayaan berbagai PSN, namun seperti diketahui, mereka juga mendatangkan tenaga kerja dari negaranya untuk bekerja di berbagai proyek di negeri ini. Baik yang terkategori skilled labour atau tenaga terdidik maupun tidak.

Celakanya, cetus Fajar, betapa hampir setiap hari rakyat dengan mudah mencermati kedatangan para tenaga kerja Cina ke wilayah negara ini, termasuk ketika pandemi masih belum reda. Sehingga patutlah jika demi mempertahankan kedaulatan negara, rakyat Indonesia bersikap demikian.

Jalur Sutra

Dilihat dari upaya tersebut, kata Fajar, Cina lebih kepada menanamkan pengaruhnya di berbagai kawasan. “Tidak hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di Asia Pasifik, Asia Tengah, Asia Selatan, Eropa Timur dan Afrika, dengan dalih membangun kembali jalur sutra, baik jalur darat maupun maritim abad 21,” timpalnya.

Apalagi dengan berbalut program Belt Road Initiative (BRI) yang dicanangkan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013, kata Fajar, Cina telah berhasil membangun kemitraan dengan lebih dari 65 negara di kawasan-kawasan yang terbagi dalam 6 koridor ekonomi, dan menjangkau kurang lebih 4,4 miliar penduduk.

“Dengan kekuatan finansial yang dimilikinya, Cina berhasil menanamkan hegemoninya di berbagai kawasan,” tegasnya dengan menambahkan, upaya itu dalam rangka menggeser pengaruh Amerika Serikat dan Eropa, melalui kekuatan ekonomi.

“Harapannya, Cina yang pada awalnya melakukan dominasi pada geoekonomi, pada akhirnya akan mendominasi juga secara geopolitik,” ucap Fajar.

Belum lagi, dari bentuk skema pinjaman atau pendanaan suatu proyek yang berbasis B2B dan G2G, Cina pun berhasil menjerat dan membuat bangkrut beberapa negara seperti Srilanka, Uganda, Kenya, Zimbabwe, Nigeria dan Maladewa. Sehingga negara-negara tersebut, kata Fajar, terpaksa menyerahkan beberapa aset negaranya hanya untuk menebus utangnya.

Begitu pun di kawasan Indocina. Untuk menghubungkan dengan negara seperti Kamboja, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia dan Indonesia, Cina sangat intens mencapai ambisi dengan mendorong pembangunan jalur kereta dan jalan lintas Indocina, serta pembangunan beberapa pelabuhan untuk kepentingan perdagangan.

Khususnya Indonesia, sambung Fajar, Cina hadir di beberapa proyek PSN seperti kereta cepat, bandara, pelabuhan, jalan tol, smelter nikel, pembangkit listrik, dan sebagainya, yang hampir semuanya mengandalkan pembiayaan dari Cina. “Ini tentu sangat mengkhawatirkan,” cetusnya.

Terlebih potensi mangkrak atas proyek-proyek tersebut. “Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang sudahlah mengalami pembengkakan anggaran hingga nilainya mencapai lebih dari Rp100 triliun, termasuk menyedot APBN sebesar Rp4,3 triliun, juga berpotensi menjadi proyek gagal,” imbuhnya.

Ditambah proyek pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Nusantara. “Besar kemungkinan proyek ini akan menjadi proyek mubazir,” cakap Fajar juga khawatir terhadap proyek-proyek lain yang secara angka keekonomian, ternyata tidak mencapai karena memang tidak layak secara ekonomi.

Demikian fakta debt trap, yang menurut Fajar, sedang ditebar oleh Cina ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Dengan kata lain, Fajar memaparkan sekali lagi, respons dari responden yang 60 persen menginginkan Indonesia bergabung dengan negara-negara lain menekan pengaruh Cina, menunjukkan tingkat kekhawatiran masyarakat yang sangat besar akan dominasi Cina.

Bahaya

Bahayanya, lanjut Fajar, Cina akan semakin mendominasi perekonomian Indonesia. Terutama skema turnkey project yang menjadikan Indonesia tidak berkuasa atas pelaksanaan berbagai PSN.

Lebih jauh apabila pembangunan proyek berakhir mangkrak, Indonesia akan semakin dalam terjebak dalam jebakan utang Cina. “Ini berbahaya karena akan membebani siapa pun pemimpin Indonesia, termasuk membebani rakyat Indonesia,” sebutnya.

Sedangkan yang paling fatal, kata Fajar, dengan ketergantungan sangat besar dari sisi perekonomian, Cina pada akhirnya juga akan mendominasi aspek politik.

“Wakil-wakil rakyat maupun penguasa yang berkuasa ditentukan atau harus mendapatkan dukungan dari Cina,” tandasnya dengan menyebutkan menguatnya dominasi oligarki dalam pengambilan keputusan dan kebijakan sebagai salah satu indikatornya.

Sebutlah produk peraturan perundang-undangan yang terkesan dibuat untuk kepentingan oligarki, sehingga sangat mungkin Cina berkelindan di dalamnya. “Cina sangat mungkin berkelindan dengan para oligarki lokal untuk semakin menancapkan pengaruhnya di Indonesia,” ulasnya.

Di sisi lain, politisi kita yang memang didominasi para pengusaha, juga sangat mungkin bisa dijebak dengan berbagai tawaran menarik dari para oligarki yang telah berkelindan dengan Cina. “Ini saya kira bahayanya,” timpalnya.

Tak Berani

Maka itu, ia memandang, rezim Jokowi saat ini tidak mungkin berani melawan pengaruh Cina. “Lha yang menjadikan dia sebagai presiden, salah satunya ya dukungan dari para oligarki yang juga didukung kekuatan asing, termasuk Cina tentunya,” nilai Fajar.

Alih-alih akan berani melawan, yang ada justru dia akan menyiapkan karpet merah di setiap ada peluang investasi dari Cina. “Yang terjadi pastinya dia akan tunduk, patuh kepada tuannya yaitu kaum oligarki termasuk Cina,” sambungnya.

Sehingga, kalaupun masyarakat berkehendak rezim bisa menghilangkan pengaruh Cina, ia mengibaratkan pepatah ‘pungguk merindukan bulan’ alias tidak akan pernah kesampaian. “Itulah watak jahat dari sistem kapitalisme liberal dalam aspek ekonomi dan demokrasi liberal dalam aspek politik yang membuat kondisi Indonesia semakin kacau balau,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: