Oleh: Maman Abdullah
Sejarah selalu menyimpan jejak yang tak ternilai. Di antara dokumen berharga yang jarang disentuh publik adalah surat dari Sultan Aceh kepada Sultan Abdul Hamid II, Khalifah Turki Utsmani pada akhir abad ke-19. Surat itu tidak sekadar pesan diplomatik, melainkan simbol betapa eratnya ikatan politik dan spiritual antara dunia Islam Timur jauh dengan pusat kekhalifahan di Istanbul.
Aceh: Benteng Islam di Timur
Sejak lama, Aceh dikenal sebagai “Serambi Mekkah”. Gelar itu bukan hanya merujuk pada ramainya jemaah haji dari Nusantara yang singgah di Aceh sebelum berangkat ke tanah suci, melainkan juga pada posisi strategis Aceh sebagai benteng terakhir Islam di Asia Tenggara. Saat Portugis menguasai Malaka pada abad ke-16, Aceh tampil sebagai kekuatan yang berani melawan.
Dalam perjuangannya, Aceh menjalin hubungan erat dengan Turki Utsmani. Di bawah Sultan Alauddin al-Kahhar, Aceh mengirim utusan ke Istanbul meminta bantuan menghadapi Portugis. Sultan Sulaiman al-Qanuni merespons dengan mengirim ahli senjata, meriam, dan instruktur militer. Inilah sebabnya Aceh pernah menjadi negeri dengan artileri paling kuat di kawasan Nusantara.
Surat dari Ujung Timur
Hubungan itu tidak putus. Tiga abad kemudian, ketika Belanda melancarkan agresi besar-besaran ke Aceh (1873–1904), Sultan Aceh kembali mengirim surat ke Istanbul. Kali ini ditujukan kepada Khalifah Abdul Hamid II, penguasa terakhir yang benar-benar berusaha mempertahankan wibawa kekhalifahan.
Dalam surat itu, Sultan Aceh mengawali dengan basmalah, hamdalah, dan shalawat kepada Nabi ﷺ. Ia lalu memuji Abdul Hamid sebagai Khalifah kaum Muslimin, pelindung dua tanah suci, dan pemimpin yang diagungkan. Selanjutnya, Sultan Aceh mengadukan keadaan negerinya yang sedang dikepung oleh pasukan Belanda.
Yang menarik, Sultan Aceh tidak hanya berbicara atas nama kerajaannya. Dalam redaksi surat itu, ia menegaskan bahwa Pulau Sumatra, Pulau Borneo (Kalimantan), dan Pulau Jawa adalah bagian dari Khilafah Utsmaniyah. Dengan kata lain, Aceh ingin menegaskan bahwa bukan hanya dirinya, melainkan seluruh wilayah Nusantara masih berada dalam orbit kekuasaan Khalifah. Pernyataan ini punya makna politik yang sangat besar: jika Belanda menyerang Aceh, berarti Belanda sedang menantang dan menyerang wilayah kekhalifahan.
Respons Khalifah Abdul Hamid II
Abdul Hamid II menyambut dengan hangat, meski dalam posisi sulit. Pada masa itu, Turki Utsmani sedang menghadapi tekanan luar biasa dari Rusia, Inggris, dan Perancis. Mengirim bala tentara ke Aceh nyaris mustahil, karena akan memicu perang besar dengan Belanda. Namun Abdul Hamid tidak tinggal diam. Ia mengirim utusan dan tanda legitimasi untuk Sultan Aceh, sebagai pengakuan bahwa Aceh adalah bagian dari dunia Islam yang berada dalam naungan kekhalifahan.
Dukungan moral ini sangat penting. Ia memperkuat semangat perlawanan Aceh dan memberi pesan kepada Belanda bahwa mereka tidak sedang berhadapan dengan kerajaan kecil di Nusantara, melainkan dengan bagian dari umat Islam global.
Makna yang Terlupakan
Surat Sultan Aceh kepada Abdul Hamid II adalah bukti otentik bahwa umat Islam di Nusantara tidak pernah merasa tercerpisah dari dunia Islam. Aceh melihat dirinya sebagai bagian dari kekhalifahan, bahkan menyebut wilayah besar Nusantara—Sumatra, Borneo, dan Jawa—sebagai bagian dari Khilafah. Hubungan itu juga menegaskan bahwa ketika menghadapi penjajah, umat Islam tidak mengandalkan nasionalisme sempit, melainkan kembali kepada persaudaraan besar Islam.
Kini, surat itu mengingatkan kita pada sebuah realitas: umat Islam pernah memiliki jaringan politik, spiritual, dan emosional yang melintasi batas geografis. Dari Istanbul hingga Aceh, dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara, mereka merasa berada di bawah satu payung yang sama.
Penutup
Di tengah gempuran globalisasi hari ini, ketika identitas keagamaan sering dikerdilkan menjadi sekadar urusan pribadi, kisah surat Sultan Aceh ini mengajarkan sesuatu yang lebih dalam. Ia menunjukkan bahwa umat Islam pernah punya ikatan politik global yang nyata, yang mampu membuat kerajaan kecil di ujung Sumatra merasa sejalan dengan pusat kekhalifahan di Istanbul.
Surat itu adalah simbol ukhuwah Islam yang melampaui batas negara, bahasa, dan suku. Ia adalah jejak sejarah yang seharusnya tidak dilupakan, terutama oleh generasi muslim hari ini yang tengah mencari arah di tengah derasnya arus modernitas.
Penulis adalah Magister Pendidikan, Pengasuh Ponpes Tahfiz Al-Quran tinggal di Garut
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat