Subsidi Energi Bebani APBN? Mubaligh Makassar: Kelola dengan Islam, Pendapatan Negara akan Lebih Besar

Mediaumat.id – Pandangan pemerintah terhadap subsidi BBM bakal membebani dan membahayakan APBN, dinilai Mubaligh Kota Makassar Sulawesi Selatan (Sulsel) Ustaz Musta’din, S.Ag. sebagai konsekuensi dari pengelolaan energi BBM tidak berdasarkan Islam.
“Jika pemerintah mengadopsi pengelolaan BBM berdasarkan syariah, maka pendapatan negara akan jauh lebih besar,” lugasnya dalam Konferensi Pers: Makassar Menolak Rencana Kenaikan BBM, LPG 3 Kg dan Tarif Dasar Listrik, Kamis (26/5/2022) di kanal YouTube Dakwah Sulsel.
Pemerintah tidak akan pusing (lagi) dengan tambahan subsidi untuk kepentingan rakyat banyak,” sambungnya.
Pasalnya, setelah menaikkan harga BBM jenis pertamax dari Rp9.000 menjadi Rp12.500 sampai Rp13.000, pemerintah juga mengumumkan rencana menaikkan harga pertalite dan gas LPG, BBM jenis solar serta tarif dasar listrik (TDL).
Alasannya, karena lonjakan harga minyak dan LPG internasional, serta untuk mengurangi beban subsidi listrik yang ditanggung APBN.
Penting dipahami, sistem kapitalisme memang meniscayakan pengelolaan sektor sumber daya alam yang melimpah. Seperti migas, batu bara, emas atau pun tembaga untuk diserahkan kepada swasta.
Sementara, lanjut Musta’din, pemerintah sekadar memperoleh pendapatan dari sektor perpajakan yang tidak seberapa. Dan meski berupa royalti dan bagi hasil, nilainya pun sangat kecil. “Royalti dan bagi hasil migas nilainya sangat-sangat kecil dibandingkan jika seluruhnya dikelola oleh negara,” terangnya.
Tak hanya itu, pengelolaan APBN berbasis kapitalisme menjadikan pemerintah bergantung kepada utang. Sedangkan sistem tersebut cenderung memunculkan defisit anggaran yang tentu berpotensi utang sebagai solusinya.
Celakanya lagi, utang yang dijadikan penopang defisit ternyata berbasis ribawi. Dengan kata lain, pembayaran bunga utang yang mencapai Rp406 triliun pada tahun 2022 saja, menurutnya sangat membebani APBN.
“Ini baru bunganya. Rp406 triliun yang sudah membuat APBN kita sudah terseok-seok untuk membayarnya,” ucapnya seraya menyebut pemerintah tidak pernah mengatakan utang tersebut menjadi masalah serius.
Tetapi kalau untuk subsidi rakyat, kata Musta’din, negara selalu mengatakan APBN terbebani dan akan jebol.
“Kalau untuk membayar utang negara tidak pernah mengucapkan itu,” sesalnya sembari pula berseloroh, bahwa sikap itu sebagai bentuk tata krama bagi kreditur atau pihak yang memberikan utang.
Liberalisasi Migas
“Liberalisasi sektor migas menyebabkan BBM menjadi lebih mahal dari yang seharusnya,” tegas Musta’din.
Artinya, dengan membebaskan siapa saja untuk terlibat aktif mengelola sektor energi, swasta pun diberikan peluang sama dengan BUMN.
Ditambah, minyak mentah produksi dalam negeri, baik oleh BUMN maupun swasta dinilai dengan harga internasional.
Padahal menurut Taslim Z Yunus, sekretaris satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, kata Musta’din, biaya produksi minyak dan gas bumi pada kuartal I 2021 sebesar US11,88 per barel.
“Jika harga saat ini mencapai US100 per barel dengan biaya produksi US12 per barel, maka keuntungan kontraktor kerjasama mencapai US78 atau Rp1,1 juta per barel,” terangnya.
Maknanya, apabila seluruh produksi minyak mentah domestik dikelola oleh Pertamina, serta dihitung berdasarkan biaya produksinya saja, maka harga BBM akan jauh lebih rendah.
Namun sekali lagi, selama pemerintah masih melakukan liberalisasi sektor migas, kata Musta’din, hal itu sulit terwujud.
Konsep Syariah
“Kondisi tersebut sangat kontras dengan ajaran Islam yang mengategorikan sektor pertambangan yang melimpah merupakan milik umum, sehingga wajib dikelola oleh negara untuk sebesar-besar digunakan untuk publik dan haram diserahkan kepada pihak swasta,” paparnya.
Sebagaimana tuntunan dari Hadits Rasulullah SAW yang artinya, ”Manusia berserikat dalam tiga hal. Air, padang rumput, api atau energi’. (HR. Abu Dawud)
Maksudnya di antara konsep pengelolaan energi dalam hal ini BBM, yang semestinya didasarkan pada syariah Islam adalah seluruh sumber daya alam termasuk minyak dan gas bumi yang cadangannya sangat melimpah di negara ini.
“Sebagai contoh, di sektor kelautan, perhutanan, migas, batubara dan emas dikelola sesuai syariah maka potensi pendapatan APBN dapat mencapai lebih dari Rp4.000 triliun,” tuturnya.
Terutama BBM yang harga domestiknya akan lebih murah. Sebab dari hulu hingga hilir dikendalikan oleh Pertamina selaku BUMN yang dibolehkan negara melakukan seluruh kegiatan berkaitan pengelolaan dimaksud.
Harganya pun tidak perlu dinilai dengan harga internasional, namun cukup dengan harga perolehan yang dapat ditambah dengan margin wajar.
Seperti halnya berdasarkan perhitungan data terakhir kementerian ESDM tahun 2020, impor minyak mentah dan BBM masing-masing hanya sekitar 24 dan 30 persen yang dinilai dengan harga internasional.
Sehingga apabila pemerintah mampu melakukan pengilangan seluruh minyak mentah produksi domestik misalnya, maka kebutuhan impor hanya sekitar 12 persen. “Apalagi pemerintah mampu mempercepat pembangunan kilang, maka kebutuhan impor BBM dapat diminimalkan,” ujarnya.
Dengan demikian, di samping pemerintah pun tidak perlu lagi berutang, karena secara otomatis pembayaran bunga yang membebani APBN itu tidak akan ada, harga BBM akan lebih terjangkau.
“Alhasil jika seluruh produksi minyak mentah domestik dikelola oleh Pertamina dan pengelolaan BUMN dihitung berdasarkan biaya produksinya maka harga BBM akan jauh lebih rendah,” pungkasnya. []Zainul Krian