Soal Whoosh, Peneliti Tegaskan Pentingnya Penguasa Mengkaji Islam

MediaUmat Agar setiap kebijakan pemerintah selalu dilimpahi keselamatan, terlebih keberkahan, Peneliti dari Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan, M.Ag. menegaskan betapa pentingnya bagi umat terutama penguasa, untuk mengkaji atau memandang segala sesuatu hanya dari perspektif Islam.

“Maka kajilah Islam sehingga akan selamat seluruh kebijakan yang dilakukan,” ujarnya kepada media-umat.com, Selasa (11/11/2025).

Menurutnya, hal ini amat penting agar sejumlah permasalahan pelik seperti yang menerpa proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh berikut beban utang besar berbasis ribawi, ditambah perkara pembengkakan biaya (cost overrun) proyek, serta isu dugaan tindak pidana korupsi, tidak akan muncul lagi di masa depan.

Dalam hal keharaman riba, misalnya, sangat jelas disebutkan dalam banyak redaksi sumber hukum Islam baik Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ hingga Qiyas. Dalam hal ini Riyan menyinggung bahwa cicilan bunga utang atau riba dari proyek sebuah sarana transportasi, Whoosh, sebesar Rp1,2 triliun per tahun dengan tenor 40 tahun dan masa tenggang 10 tahun.

Dari total setelah pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar USD7,26 miliar atau Rp 119,79 triliun (kurs Rp16.500), sekitar 75 persen dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank atau senilai USD5,415 miliar. Dengan bunga tahunan utang pokok 2 persen dan bunga untuk cost overrun 3,4 persen per tahun, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), perusahaan yang membangun dan mengelola proyek KCJB, harus membayar USD120,9 juta (sekitar Rp1,2 triliun) per tahun untuk bunganya.

Makin celaka, utang berbasis riba ini adalah bagian dari politik jebakan utang (debt trap) yang dilakukan negara kafir Cina dalam rangka mengimplementasikan Belt and Road Initiative (BRI). “Bila utang macet, maka Cina akan leluasa untuk mendiktekan kepentingannya, sebagaimana telah terjadi di Srilangka [dan] Kenya,” terangnya.

Maka suatu keharusan bagi seorang penguasa negeri Muslim seperti Indonesia, agar tidak sedikit pun memberikan peluang kepada orang kafir untuk mendominasi kaum Muslim, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’: 141 yang artinya,

Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.

Pun demikian terkait pembengkakan biaya (cost overrun) yang mencapai puluhan triliun rupiah, belakangan ini malah terkesan memaksa pemerintah menambah dana APBN untuk menutupi kekurangan anggaran.

Padahal telah ditegaskan sebelumnya, skema proyek Whoosh dari Cina ini adalah business to business (B2B), yang berarti tidak akan menggunakan APBN yang tentu saja bisa membebani anggaran belanja negara.

Dikabarkan sebelumnya, usai meresmikan revitalisasi Stasiun KRL Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Selasa (4/11/2025), Prabowo menegaskan agar polemik terkait Whoosh tidak dipolitisasi. Bahkan presiden RI ke-8 itu menyatakan siap bertanggung jawab atas permasalahan yang membelit proyek, termasuk beban utang yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Pemerintah Tak Perlu Buru-buru

Meski prinsip dari transportasi publik yang memang tak boleh hanya menghitung soal untung dan rugi, tetapi terkait proyek Whoosh ini harusnya pemerintah tak buru-buru menyampaikan hal tersebut.

“Harusnya presiden tidak secara buru-buru mengatakan utang tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah,” kritik Riyan.

Sebaliknya, sebagai seorang presiden justru harus proporsional dalam menyatakan sikap. “Presiden Prabowo seharusnya proporsional dalam menyatakan sikap,” jelasnya, seraya menyinggung kembali proporsi awal proyek ini yang merupakan tanggung jawab konsorsium BUMN sebagai sebuah entitas bisnis dan selaku subjek dalam proyek Whoosh.

Adapun jika benar-benar bertanggung jawab atas utang proyek Whoosh yang mencapai ratusan triliun rupiah tersebut, bisa dipastikan tidak mungkin menggunakan uang pribadi Prabowo.

“Tentu tidak mungkin dari kantong pribadi presiden,” tandasnya, yang berarti satu-satunya kepastian adalah memang memakai uang publik yang meski berasal dari kekayaan BUMN, tetapi berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, BUMN mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Begitu juga imbauan agar polemik utang tersebut tidak dijadikan isu politik atau dipolitisasi, Riyan menanggapi justru kebijakan publik, termasuk di dalamnya skema pembayaran utang yang melibatkan uang publik, merupakan bagian dari produk politik yang bersifat akuntabel sebagai prinsip fundamental dalam pemerintahan yang baik.

Lagipula, pengertian dari istilah politik sendiri sesungguhnya adalah pengaturan urusan rakyat. Sehingga masyarakat pantas cemas bila sudah memahami duduk perkara dan solusinya yang ternyata memberatkan mereka, misalnya memakai talangan utang ataupun dana APBN.

Pasalnya, sumber terbesar pendapatan dalam APBN adalah pajak, yang berarti beban rakyat bakal bertambah jika pembayaran utang Whoosh menggunakan uang rakyat tersebut. “Maka isu ini harus dilantangkan agar solusinya tidak memberatkan rakyat,” lontar Riyan.

Belum lagi ibarat bom waktu, beban utang Whoosh yang sangat besar ini berpotensi menimbulkan masalah keuangan serius yang dapat mengancam kelangsungan usaha perusahaan di masa depan. Artinya beban ini akan terakumulasi dan ‘meledak’ pada titik tertentu, menyebabkan ketidakstabilan finansial yang parah atau bahkan kebangkrutan.

Karenanya, meski dinyatakan bahwa proyek KCJB atau Whoosh ini tidak menghadapi persoalan serius terkait pembiayaan, sebagai presiden harusnya juga menyoroti adanya dugaan penyimpangan yang harus diselidiki secara hukum.

“Jangan sampai presiden terkesan melindungi mereka dengan dalih ‘mengambil tanggung jawab’,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: