MediaUmat – Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menegaskan pemberian gelar pahlawan kepada seseorang harus subyektif tetapi bagi umat Islam subjektifnya harus sesuai ajaran Islam.
“Memuji dan memberi gelar pahlawan pada seseorang memang subyektif. Wajib subyektif. Untuk kita, sesuai ajaran Islam. Selain itu, tidak,” ujarnya kepada media-umat.com, Selasa (11/11/2025).
Menurutnya, pemberian gelar pahlawan pastinya subyektif. “Memang harus subyektif. Tak ada orang yang disepakati semua pihak ia pantas jadi pahlawan. Persoalannya; apa ukuran subyektif yang harus dipakai?” ungkapnya.
Iwan menilai, memang tak bisa dipungkiri pasti ada tendensi dan kepentingan politik dalam menilai sosok tertentu sehingga dinilai pantas mendapat gelar pahlawan.
Karena itu, kata Iwan, umat Muslim, wajib mengembalikan penilaian seseorang itu baik dan layak disebut pahlawan sesuai pandangan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
“Mereka yang fasik, zalim dan nifak, maka tidak pantas diberi puja-puji setinggi langit,” tandasnya.
Soeharto
Mantan Presiden Soeharto, misalnya, dinilai pemerintah dan sebagian pihak berjasa dalam membubarkan Partai Komunis Indonesia, merebut Timor Timur, juga dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Sebagian besar rakyat ingat ekonomi di era Orde Baru yang dianggap lebih makmur dibandingkan era Reformasi.
Namun di era Orde Baru, kata Iwan, juga sejumlah kebijakan represif dialami rakyat, termasuk kaum Muslim.
“Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh yang menelan tidak sedikit korban. Di zaman Orde Baru kaum Muslim mengalami apa yang disebut politik depolitisasi dan deislamisasi. Para Muslimah dilarang memakai kerudung dan jilbab di lingkungan pendidikan dan instansi pemerintah. Baru setelah protes keras terjadi akhirnya kerudung dibolehkan di sejumlah lembaga pendidikan dan instansi negara,” bebernya.
“Di tengah masyarakat, diciptakan suasana tidak nyaman ketika para dai membicarakan Islam politik apalagi mengkritik pemerintah. Isu ekstrem kanan dan Komando Jihad dijadikan alat untuk mencurigai dan menangkap dai dan tokoh Islam,” imbuhnya.
Lebih tragisnya lagi, Iwan mengatakan, pemerintah Orde Baru juga melakukan tindakan represif militer terhadap kaum Muslim. Pada tahun 1984, meletus kasus Tanjung Priok. Pemerintah melakukan tindakan militer terhadap jamaah Masjid as-Saadah Tanjung Priok yang memprotes sikap arogansi aparat di masjid mereka.
Operasi itu, sebut Iwan, menewaskan banyak warga dan jamaah masjid. Menurut pemerintah jumlah korban hanya dua puluhan. Belakangan sejumlah pihak melakukan investigasi, seperti kelompok Solidaritas Nasional, menyebutkan jumlah korban tewas dan hilang mencapai 400 orang.
“Pada tahun 1989 pemerintah melakukan operasi militer di Talangsari yang menewaskan 200 lebih penduduk, termasuk anak-anak dan perempuan. Saat itu aparat berdalih warga hendak melakukan makar terhadap negara dan melakukan perlawanan,” ungkapnya.
Di era Orde Baru periode akhir, lanjutnya, barulah kaum Muslim bisa sedikit menggeliat. Berdiri ICMI dan Bank Muamalat. Menandai ada perubahan lebih positif terhadap Islam. Sebelum akhirnya Orde Baru tumbang di tahun 1998 ditelan era Reformasi.
“Itu sekelumit peristiwa pahit yang dialami kaum Muslimin di kepresidenan Soeharto. Pada akhirnya memang pujian dan gelar pahlawan itu memang pasti selalu subyektif. Bergantung pada penguasa yang akan menyematkan gelar tersebut,” ujarnya.
Dikabarkan, Presiden Prabowo akhirnya memberikan gelar Pahlawan pada mantan Presiden Soeharto meski di tengah kontroversi. Bersama dengan sembilan tokoh lain di antaranya mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan pejuang buruh Marsinah. Selain disematkan gelar Pahlawan, keluarga mendiang tokoh-tokoh tersebut juga berhak mendapatkan tunjangan dari negara sebesar Rp 50 juta per tahun.[] Achmad Mu’it
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat