Siyasah Institute: Gaung Sumpah Pemuda Semakin Lemah

 Siyasah Institute: Gaung Sumpah Pemuda Semakin Lemah

MediaUmat Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menyororti semakin lemahnya gaung Sumpah Pemuda 28 Oktober di kalangan anak muda Indonesia.

“Apakah Sumpah Pemuda 28 Oktober masih bergaung di jagat anak-anak muda Indonesia? Sepertinya semakin lemah,” jelasnya kepada media-umat.com, Senin (10/11/2025).

Menurutnya, hal itu terjadi karena lemahnya idealisme anak muda yang seharusnya menjadi motor penggerak bangsa. Perjuangan dan idealisme adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, pemuda yang sadar terhadap kondisi dirinya dan lingkungannya akan berusaha mencari nilai-nilai ideal yang harus diperjuangkan.

“Pemuda seharusnya berada dalam lingkaran manusia yang penuh dengan idealisme. Punya cita-cita melangit, kepedulian dan gigih mempertahankan prinsip. Sejarah perubahan dunia pasti dilakukan dan melibatkan anak-anak muda,” ujarnya.

Ia mencontohkan, Revolusi Bolshevik yang melahirkan Uni Soviet dimotori oleh generasi muda seperti Stalin, sementara kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran para pemuda di Rengasdengklok, begitu juga dakwah Rasulullah SAW yang inqilabiyyah (perubahan menyeluruh menuju tatanan yang sesuai dengan nilai Islam) di Makkah juga diisi barisan para pemuda. Bahkan kisah fenomenal Ashabul Kahfi juga berisi lakon anak-anak muda beriman dan bertakwa.

“Begitulah, karakter pemuda adalah idealis. Gigih mempertahankan prinsip yang diyakini kebenarannya. Pantang menyerah. Berani melawan arus besar peradaban dan berpikir out of the box,” paparnya.

Lebih jauh, Iwan mengunkap bahwa musuh terbesar idealisme di kalangan pemuda saat ini adalah pragmatisme dan hedonisme.

Dalam pandangannya, pragmatisme adalah paham yang menilai kebenaran dari manfaat praktis, arus besar yang menggerus idealisme anak muda.

“Celakanya, bukan saja mengikis idealisme, tapi pragmatisme juga mendorong anak muda untuk mencari kemanfaatan dan kegunaan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok. Pragmatisme bisa menjadikan anak muda serakah dan korup seperti generasi bapak-bapak mereka,” terangnya.

Pragmatisme di alam demokrasi lekat dengan hedonisme, lanjutnya, budaya flexing di media sosial menanamkan nilai bahwa keberhasilan identik dengan kemewahan, menjadikan fokus kehidupan hanya kesenangan pribadi. Lebih parah, fenomena kajian keislaman yang bergeser menjadi hiburan spiritual, kepentingan personal.

“Namun antusias itu tidak sama terhadap kajian-kajian keumatan seperti persoalan politik, pertambangan, korupsi, kewajiban menegakkan syariat dan sistem pemerintahan Islam. Anak-anak muda seperti itu cenderung menghindari tema-tema itu dengan alasan tidak relate dengan dunia mereka,” jelasnya.

“Mereka punya idealisme namun dalam batas-batas tertentu. Dalam level keumatan, apalagi bergerak melakukan revolusi perubahan sosial, masih berat kaki melangkah,” imbuhnya..

Karena itu, ia mengajak para pemuda untuk kembali menjadikan Islam sebagai ideologi hidup, hanya ideologi Islam yang mampu menumbuhkan semangat idealisme sejati, selama anak muda hidup dalam sistem sekuler-kapitalis, sulit berharap lahir generasi yang memiliki kepedulian terhadap umat.

“Satu-satunya ideologi yang begitu kuat berpengaruh pada jiwa manusia – baik tua maupun muda – adalah Islam. Sejarah Islam berisi tinta emas para pemuda dan ulama Islam yang berjuang,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *