Sistem Buatan Manusia Terbukti Gagal, Saatnya Umat Kembali ke Islam

MediaUmat.info – Setelah memahami sistem kapitalisme dan sosialisme buatan manusia terbukti gagal dalam hal distribusi keadilan, umat harusnya sadar untuk kembali kepada sistem Islam yang berasal dari Dzat yang Mahaadil yakni Allah SWT.
“Sudah saatnya umat kembali kepada sistem buatan Allah, Islam,” tutur Wartawan Senior Edy Mulyadi dalam sebuah tulisan Bagian 7 (Habis) berjudul Keunggulan Sistem Islam: Negara Bukan Penonton, Tapi Penegak Keadilan, yang diterima media-umat.info, Jumat (2/5/2025).
Bukan sekadar tambal sulam, atau sebatas keshalihan ritual dan sosial, tetapi menurutnya, sistem Islam kaffah yang mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari individu, keluarga, masyarakat, hingga bernegara.
Dengan kata lain, bukan cuma agama berikut tata cara shalat, puasa, zakat, haji, pernikahan dan waris. Islam juga diterapkan dalam konsep ekonomi, politik, hukum, pendidikan, bahkan hubungan internasional. “Semua itu berasal dari wahyu, bukan hasil kompromi atau voting,” jelasnya terkait perbedaan Islam dari sistem buatan manusia.
Untuk itu Edy pun menguraikan setidaknya enam hal penting tentang keadilan dalam Islam ketika di saat yang sama, Islam juga benar-benar menjadi dasar sistem kehidupan bernegara yang biasa dikenal dengan sebutan khilafah islamiah.
Pertama, khilafah berperan aktif dengan tidak mengambil posisi netral layaknya seorang wasit pertandingan. Maksudnya, negara berkewajiban menjamin keadilan, memenuhi kebutuhan rakyat, menjaga akidah maupun memberantas kemungkaran.
“Negara Islam tidak membiarkan rakyat miskin karena dikerjai korporasi, dan tidak boleh ada tambang dan hutan dijarah investor, baik lokal, asing maupun aseng,” paparnya.
“Imam atau pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya,” tambahnya, mengutip hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim tentang tugas negara mengatur urusan umat berdasarkan syariat bukan untung-rugi.
Hal penting kedua, khilafah mengadopsi konsep kepemilikan harta, di antaranya milik individu, umum, negara.
Terkait kekayaan alam yang melimpah meliputi tambang, hutan, laut, dan sumber energi besar lainnya, yang masuk kategori milik umum, negara tidak boleh menyerahkan ke swasta, apalagi asing.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api (energi),” demikian bunyi hadits riwayat Imam Abu Dawud, yang berarti sumber daya alam harus dikelola negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Ketiga, amat berbeda dengan kapitalisme maupun sosialisme, negara khilafah tak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Pajak hanya boleh dipungut dalam kondisi darurat dan dari orang (Islam) kaya saja. Itu pun sifatnya sementara.
Keempat, distribusi kekayaan dalam negara khilafah diatur dengan prinsip keadilan, bukan dibebaskan seperti saat ini. Dengan kata lain, Islam tidak membiarkan kekayaan berputar di tangan orang kaya saja sebagaimana QS al-Hasyr: 7 yang artinya, “…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”
Kelima, membangun sistem pendidikan, yang notabene hak rakyat sekaligus kewajiban negara Khilafah untuk menyediakan, hanya di atas akidah Islam. “Bukan sekadar pandai, apalagi jadi tenaga kerja yang bakal dieksploitasi oleh pemodal,” tulisnya.
Keenam, khilafah wajib mendasarkan politik luar negeri pada asas dakwah, yakni menyebarkan rahmat Islam ke seluruh dunia. Ditambah dengan dasar untuk berjihad, yang dilakukan bukan untuk penjajahan tetapi membebaskan manusia dari kezaliman sistem buatan manusia.
Demikian, bicara tentang hubungan antar manusia, Islam tak melulu membahas seputar hukuman potong tangan, rajam, atau hal-hal berkonotasi darah belaka, sebagaimana dikampanyekan pihak pembenci Islam.
Lebih dari itu, kembali ia mengingatkan, syariat Islam adalah solusi peradaban total dan global. “Dengan Islam kaffah, dunia akan merasakan kembali apa itu keadilan, rahmat, dan peradaban mulia,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat