Singapura Sebut UAS Ekstremis dan Segregasi, Tuduhan Tak Berdasar

Mediaumat.id – Tentang sikap Singapura yang menyebut Ustaz Abdul Somad (UAS) ekstremis dan segregasi, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pelita Umat (LBH PU) Chandra Purna Irawan menegaskan bahwa itu adalah tuduhan yang tak berdasar.
“Tuduhan ekstremis dan segregasi adalah tuduhan yang tidak berdasar,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (20/5/2022).
Pasalnya, lanjut Chandra, tidak ada satu pun produk peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang menyatakan UAS melakukan segregasi dan ekstremis.
Sehingga kata Chandra, sikap pemerintah Singapura itu berpotensi melanggar Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (UDHR) Pasal 19, yang bunyinya, ‘Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).’
Berikutnya, Singapura juga berpotensi melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Yakni sebuah perjanjian multilateral yang mewajibkan negara anggotanya untuk melindungi hak-hak sipil dan politik individu, termasuk hak untuk hidup, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, hak elektoral, dan hak untuk memperoleh proses pengadilan yang adil dan tidak berpihak.
Tak hanya itu, Singapura juga melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD).
Maka, Chandra mengecam keras dan mendorong pemerintah Singapura untuk segera meminta maaf secara terbuka kepada UAS. Demikian halnya dengan Indonesia. “Mendesak pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak warga negaranya,” lugasnya.
Di sisi lain, kata Chandra, setidaknya terdapat dua praduga berkenaan dengan sikap pemerintah Singapura. Pertama, terlepas hasil dari pengamatan, memperhatikan atau menyimak secara langsung atau melalui media, Singapura telah mengetahui ceramah-ceramah UAS.
“Jika iya, maka ini seolah-olah menjadi pesan tersembunyi bahwa negara Singapura mengetahui seluruh kejadian yang ada di dalam negara Indonesia atau memberikan pesan kepada Indonesia agar ustaz dan alim ulama yang vokal seperti UAS tidak diberikan ruang yang bebas,” ucapnya.
Kedua, Singapura mengetahui, sebab mendapat informasi dari oknum pejabat Indonesia. “Jika iya, maka tindakan tersebut adalah perbuatan melawan hukum,” tukasnya.
Artinya, selama ini pemerintah Indonesia telah membangun narasi pecah belah radikal-radikul dan indelingsbelust, yaitu mendefinisikan, mengotak-kotakkan, yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan negara.
Melampaui Batas
Sementara, tuduhan ekstremis dan segregasi terhadap UAS berikut alasan istilah kafir yang disematkan terhadap kaum non-Muslim, maupun bom bunuh diri di Palestina, Chandra mengatakan, tindakan Singapura tersebut telah melampaui batas dan sebagai bentuk intervensi terhadap dakwah Islam.
“Dapat dinilai melakukan stigmatisasi terhadap Islam terutama istilah kafir. “Istilah kafir adalah ajaran Islam yang terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Hadits,” terangnya seraya menyebut bahwa UAS sekadar berdakwah menyampaikan ajaran Islam.
Demikian pun terkait bom bunuh diri atau bom syahid di Palestina terhadap Israel, yang menurut Chandra adalah termasuk tindakan tidak melanggar hukum, karena merupakan bentuk perlawanan dan perjuangan melawan penjajah Israel yang telah mengkooptasi (occupation) tanah air Palestina.
Maka itu, bagi Chandra, masyarakat Palestina bukanlah teroris seperti yang dituduhkan Barat dan penjajah Israel. “Jika Singapura lebih peduli kepada Negara Israel, maka Singapura dapat dinilai mendukung tindakan penjajahan, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap warga Palestina,” pungkasnya.[] Zainul Krian