Setelah Dua Tahun, Tentara-Tentara Muslim Akhirnya Akan Memasuki Entitas Yahudi; Bukan sebagai Penakluk, Melainkan sebagai Pelayan Trump

Berita:

Trump mengumpulkan para anteknya dari negeri-negeri Arab dan Muslim di Kairo pada 14 Oktober 2025 untuk membanggakan pencapaiannya dalam mencapai kesepakatan mengenai Gaza. Sebelumnya, pada 10 Oktober, koresponden Departemen Luar Negeri BBC melaporkan:

“AS memindahkan hingga 200 pasukan yang sudah ditempatkan di Timur Tengah ke Israel untuk mengoordinasikan operasi, menurut pejabat AS. Militer AS akan mendirikan apa yang disebutnya sebagai pusat koordinasi sipil-militer di Israel, yang melibatkan sekitar 200 pasukan. Di dalamnya akan terdapat pasukan dari negara-negara Arab dan Muslim, termasuk Mesir, Qatar, dan Turki.”

Komentar:

Setelah segelintir orang berani menghadapi pasukan besar, setelah para pemberani melawan para pengecut, setelah kaum beriman berdiri teguh melawan kaum yang ingkar — kini pasukan-pasukan Arab dan Muslim di sekitar yang selama dua tahun hanya menyaksikan pembantaian itu akhirnya akan datang; bukan sebagai pembebas, tetapi sebagai pelayan untuk menjalankan kehendak Trump dan mantan Perdana Menteri Inggris yang terkenal licik, Tony Blair. Pusat operasi mereka pun bukan di bawah panji tauhid, melainkan di bawah perlindungan entitas Yahudi pembunuh dan benderanya yang biru-putih.

Sementara tentara entitas Yahudi menyerang secara membabi buta tanpa membedakan laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan bayi di Gaza, segelintir pejuang dengan senjata sederhana berdiri gagah menghadapi pasukan bayaran berteknologi tinggi yang didanai miliaran dolar bantuan dari Amerika Serikat. Maka benarlah doa kaum mukmin:

[قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو اللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ]

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu dengan Allah berkata: ‘Berapa banyak pasukan kecil yang mengalahkan pasukan besar dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar.’” [QS. Al-Baqarah: 249]

Ketika Gaza menjadi simbol iman dan keteguhan Islam — bukan hanya bagi kaum Muslim, tetapi juga bagi banyak orang di seluruh dunia — pasukan besar kaum Muslim justru berparade dengan senjata mengilap di bawah slogan nasionalisme kosong dan kutukan palsu para penguasa khianat, yang mulutnya mengancam tetapi hatinya pengecut. Para penguasa ini juga akan dimintai pertanggungjawaban, atas apa yang mereka lakukan dan yang mereka biarkan.

Presiden Sisi, si “firaun kecil yang berpura-pura,” menyambut Trump — sang penyebar maut — di Kairo, berdiri di hadapan dunia seolah pembawa perdamaian, sementara para pemimpin Arab dan Muslim memuji keberhasilannya, dan Trump memuji balik ketaatan mereka dengan penuh kemewahan. Mereka yang seharusnya menangis atas kegagalannya membela Islam dan kaum Muslim justru tersenyum bangga. Pernahkah dalam sejarah, sekelompok kecil manusia kerdil memasung begitu banyak umat? Betapa kontrasnya dengan pasukan Qutuz yang berangkat dari Kairo untuk mengalahkan pasukan Mongol yang sebelumnya tak terkalahkan di Ain Jalut. Meski terpecah secara internal, pasukan mulia itu menjadikan Gaza sebagai bagian penting sejarah, setelah berhasil mengalahkan pos Mongol di sana, memberi harapan kepada yang lemah, dan membuka jalan menuju kemenangan kaum Muslim di Ain Jalut.

Adapun Erdogan — yang paling nyaring dalam ancaman kosong terhadap entitas Yahudi pembunuh — menutup dua tahun “gonggongan” itu dengan drama di langit Mesir, menolak mendarat untuk menghadiri konferensi Trump di Kairo kecuali jika Netanyahu tidak hadir. Erdogan senang disamakan dengan para Khalifah Utsmani, padahal, terlepas dari slogannya, tidak ada pemerintah yang memiliki hubungan ekonomi dan militer sedekat dia dengan entitas Yahudi.

Gaza di bawah Khilafah Utsmaniyah dulu membuat pasukan Inggris menderita kekalahan berat dalam perlawanan gagah berani yang memperlambat laju mereka menuju Al-Quds selama Perang Dunia I. Khilafah Utsmaniyah mengibarkan panji Islam dengan penuh kebanggaan selama berabad-abad — hingga penyakit nasionalisme dan sekularisme meresap ke dalam pikiran bangsa Turki dan Arab dengan janji palsu tentang kemajuan dan modernitas. Sulit dibayangkan apakah ada Muslim di masa lalu, betapapun gelap zamannya, yang bisa membayangkan kedalaman pengkhianatan seperti para penguasa hari ini.

Pengkhianatan mungkin tak pernah lenyap dari sejarah umat manusia, tetapi Dunia Islam pasca runtuhnya Khilafah adalah unik: para pengkhianatnya bukan lagi agen gelap yang menjual rahasia di malam hari, melainkan para penguasa yang menjual rakyatnya di siang bolong, tahun demi tahun, melalui bencana dan kehancuran yang tak berujung — dan akan terus demikian sampai singgasana rapuh mereka dibakar hingga hangus.

Namun, akan selalu ada orang-orang beriman yang dengan pengorbanan dan keteguhan dalam berbagai ujian akan dikaruniai kemenangan. Biarlah Gaza sekali lagi menjadi pelajaran dan seruan bagi umat Islam — bahwa musuh yang tampak tak terkalahkan pun dapat dikalahkan.

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh Dr. Abdullah Robin

Sumber: hizb-ut-tahrir.info

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: