Mediaumat.id – Penulis dan Sejarawan Nicko Pandawa mengatakan buku Dafatir Sulthaniyah yang ditulisnya itu menyajikan arsip-arsip kesultanan Jawi yang menunjukkan loyalitas untuk Khilafah Utsmaniyyah.
“Dafatir Sulthaniyah ini menyajikan arsip-arsip kesultanan Jawi (Indonesia) yang menunjukkan loyalitas untuk Khilafah Utsmaniyyah,” tuturnya dalam Live: Diskusi Buku Dafatir Sulthaniyah (Menyoal Loyalitas Muslimin Jawi Untuk Khilafah Utsmaniyyah), Jumat (21/10/2022) di kanal YouTube Rayah TV.
Menurut Nicko, buku yang ditulisnya itu merupakan buku yang bersumber pada artikel-artikel bahasa Arab yang merupakan bahasa komunikasi para pendahulu kepada orang-orang yang menjabat sebagai petinggi Khilafah Utsmaniyyah. Dan menurutnya, bahasa-bahasanya itu sangat luar biasa.
“Daulah Utsmaniyyah sebagai daulah khilafah terakhir, dialah kemudian yang paling banyak berhubungan dengan sejarah kaum Muslim di negeri kita, negeri Jawi. Indonesia itu dulu dikenal sebagai Jawi bukan Nusantara sehingga di Dafatir Sulthaniyah ini tidak ada kata Nusantara (merupakan pemikiran negara Kertagama alias peninggalan Majapahit), maka saya lebih prevare menggunakan istilah Jawi yang sudah dipakai oleh ulama dulu nisbahnya Al-Jawi,” bebernya.
Bisa dikatakan buku Dafatir Sulthaniyah merupakan pelengkap dari buku pertama Nicko Pandawa yang berjudul Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda. “Di dalam buku ini, orang-orang kita dulu (Jawi) yang menuliskan suratnya kepada khalifah dan mereka menuliskan tentang gambaran hubungan mereka sendiri sebagai orang Jawi dengan negara Khilafah itu begitu jelas posisinya,” tuturnya.
Nicko menjelaskan, istilah Dafatir Sulthaniyah, diambil dari perkataan seorang sultan yang pernah berkuasa di Aceh pada pertengahan abad 19. Tahun 1850, sultan tersebut mengirim sebuah surat kepada Khalifah Abdul Mejid I, surat itu sangat luar biasa.
“Karena dia itu mencatat bagaimana awal mula keterikatan negerinya Aceh atau bahkan seluruh negeri Jawi pada umumnya dengan Khilafah Utsmaniyyah. Maka itu saya mencantumkan di salah satu babnya begini: sejarah emas itu tercantum dalam Dafatir Sulthaniyah,” jelasnya.
Dikatakan oleh Sultan Aceh dalam suratnya bahwa seluruh masyarakat di negeri Aceh, seluruh pulau Sumatera, semuanya tergolong sebagai rakyatnya Daulah Utsmaniyyah dari generasi ke generasi.
“Dari masa Sultan Selim, anaknya Sultan Sulayeman al-Qanuni, cucunya Sultan Selim I; Sultan Selim Abdul Quthb. Sultan Selim I ini adalah sultan Utsmani yang pertama kali menjabat sebagai khalifah, ketika itu dia memfutuhat atau menaklukkan atau membebaskan negeri Mesir dan Iran. Menjadi khalifah pertama bagi Bani Utsmaniyyah tahun 1517. Semoga mereka semua diberi rahmat dan keridhaan Allah,” ucapnya.
Maksud dari kata sebagai rakyat dari surat sultan Aceh itu menunjukkan jika ada rakyat (ra’iya) berarti ada pemimpin (ra’in). Maka di sini sangat jelas ketundukan orang-orang Jawi dengan orang-orang Utsmani.
“Saya ingin menyitir satu kata lagi dari orang yang bernama Muhammad Gauths Sayful ‘Alam, utusan Sultan Manshur Syah, yang saya kutip kata-katanya, kemudian dia (Sultan Aceh) menuliskan kembali testimoninya tentang sifat asli hubungan negaranya itu dengan Khilafah Utsmaniyyah,” ujarnya.
Nicko memaparkan tentang Sultan Aceh yang bercerita bahwa ada seorang pejabat Utsmani di zaman Sultan Selim II namanya Sinan Pasha yang menjabat sebagai Gubernur Utsmani untuk wilayah Mesir, dia datang ke Aceh menurut orang-orang yang disebutkan di buku ini dan berdasarkan arsip-arsip kesultanan (Dafatir Sulthaniyah) yang ada dalam tahun surat ini ditulis itu masih ada, belum dihancurkan oleh Belanda.
“Dia bilang, untuk apa Sinan Pasha, pejabat Utsmani itu datang ke Aceh? Dia itu melakukan satu hal yang disebutkan sebagai mengesahkan seluruh negeri untuk sultannya masing-masing dan mengesahkan masing-masing sultan atas kerajaannya. Jadi sultan yang berkuasa di Sumatera, tidak bisa sah berkuasa keculai mendapat legitimasi dari Khalifah Utsmaniyyah,” paparnya.
Ia mengungkapkan bahwa Dafatir Sulthaniyah ini adalah intisari arsip-arsip yang didaraskan dari tiga buku arsip berasal dari Turki.
“Yaitu buku Turki Utsmani Indonesia (Reaksi dan Korespondensi Berdasarkan Dokumen Turki Utsmani) dan dua jilid buku Ottoman Southeast Asian: Relations (2 Vols.): Sources from the Ottoman Archives,” ungkapnya.
Buku ini menampilkan data-data yang lebih simpel daripada arsip-arsip yang terdapat di ketiga buku yang menjadi darasnya.
“Saya menampilkan data-data dibuku ini semacam ensiklopedia yang menyenangkan, ada tabel yang menggambarkan sumbernya berasal dari mana, nomor arsipnya berapa, lalu jumlah lembarnya, tertulis dalam bahasa apa,” ujarnya.
Ia menilai karena arsip, surat-surat, berarti ada pengirim dan ada penerima. “Pengirimnya rata-rata dari sultan, ulama, pejabat atau bahkan rakyat jelata yang ada di Indonesia tempo dulu. Sedangkan penerimanya adalah Khalifah atau pejabat-pejabat Utsmani yang ada di Istambul,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa buku Dafatir Sulthaniyah dilengkapi dengan gambar-gambar dan menyediakan narasi-narasi yang berbahasa Arab berikut terjemahannya. Buku ini juga banyak membahas atau menyajikan arsip-arsip dari berbagai daerah.
“Saya juga memberikan kata-kata pengantar (preface) dilengkapi gambar-gambar, kemudian gambar arsipnya yang utuh. Untuk mempermudah dalam membacanya, saya sudah menyediakan narasi-narasi bahasa Arab dengan terjemahannya,” pungkasnya.[] Ageng Kartika