Sebut Miras Minuman Rasulullah, Peneliti: Itu Penistaan
Mediaumat.id – Peneliti Kajian Pemikiran Islam Irfan Abu Naveed mengatakan candaan budayawan Budi Dalton dan kawan-kawan yang menyebut miras sebagai minuman Rasulullah SAW adalah penistaan.
“Ucapan miras yang dalam bahasa kita diistilahkan minuman keras yang berarti khamr, ketika miras dinisbatkan kepada Baginda Rasulullah SAW, ini jelas termasuk penistaan,” ungkapnya di Kabar Petang: Hukuman untuk Penghina Rasulullah dalam Islam, Selasa (29/11/2022) melalui kanal YouTube Khilafah News.
Khamr yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan miras, Allah sifati sebagai perbuatan setan. “Lalu bagaimana mungkin ada orang yang mengaku Muslim menisbatkan minuman tadi kepada Baginda SAW? Maka saya katakan jelas ini termasuk penghinaan atau penistaan karena menempatkan suatu ucapan tidak pada tempatnya,” tegasnya.
Irfan juga menyebut, orang yang ikut tertawa saat miras disebut sebagai minuman Rasulullah SAW juga termasuk penghinaan. “Orang yang menuliskan, mengucapkan, ekspresi wajah yang tidak pada tempatnya itu masuk dalam bab penghinaan,” tukasnya.
Irfan menilai, penghinaan terhadap Rasulullah, penghinaan terhadap ajaran Islam seperti khilafah, jihad, penghinaan terhadap simbol-simbol Islam yang senantiasa berulang menunjukkan ini masalah sistemik akibat penerapan demokrasi yang menganut konsep kebebasan.
“Ini mengonfirmasi pada kita bahwa sistem demokrasi itu bukan alam yang layak bagi kaum Muslim untuk menegakkan Islam. Islam kaffah tidak mungkin tegak di alam demokrasi yang ‘menjustifikasi’ tumbuh suburnya penistaan terhadap agama,” kritiknya.
Bentuk Kekufuran
Irfan mengatakan, para ulama menjelaskan di antara bentuk kekufuran itu adalah ucapan yang mengandung istizaan (penghinaan) kepada Nabi SAW. “Ini wajib ditaubati,” tukasnya.
Menurutnya, penting untuk dipahami bahwa menjaga lisan kepada Baginda Nabi SAW sekalipun mengungkapkan keadaan Rasul saat terluka dalam peperangan misalnya wajib dengan sebaik-baik ungkapan, sebaik-baik diksi, sesopan-sopannya ungkapan.
“Para ulama berpendapat bahwa menista Baginda Nabi SAW baik orang itu mengakui atau tidak tapi jelas mengandung penistaan, disadari atau tidak ucapannya itu, apalagi dijadikan bahan candaan itu masuk dalam bab riddah (murtad). Pelakunya wajib bertaubat dengan taubatan nasuha,” jelasnya.
Bahkan, lanjutnya, negara akan mengirimkan ulama yang paling alim untuk memperingatkan yang bersangkutan untuk bertaubat. Diberi waktu tiga hari, jika dia bertaubat tidak dikenakan sanksi tapi jika tidak bertaubat dihukum mati.
Penjagaan Islam
Ia menjelaskan, Islam memiliki penjagaan agar seseorang tidak jatuh pada riddah. “Secara fikrah (pemikiran) Islam mewajibkan setiap individu memahami akidah Islam termasuk rambu-rambunya. Ketika mereka hidup di sistem Islam dipahamkan semua. Mereka akan mempelajari rambu-rambu kemurtadan ini,” ungkapnya.
Secara thariqah (metode), ucapnya, negara menyelenggarakan pendidikan yang menjaga umat dari pendangkalan akidah. “Di samping menyelenggarakan sistem pendidikan yang akan menjaga umat, negara juga akan menerapkan sanksi bagi pelaku kejahatan yang menistakan Islam yang kewenangannya ada pada khalifah,” ucapnya.
“Dari sini maka para ulama menetapkan bahwa mengadakan khalifah yang akan menerapkan sanksi, hukumnya wajib sesuai kaidah ‘hal-hal yang tidak sempurna melainkan dengan sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain menjadi wajib’,” tegasnya.
Dalam konteks hari ini saat khilafah itu belum ada, jelas Irfan, maka tugas kita adalah melawan pemikiran-pemikiran yang rusak, sesat dan menyesatkan demi menyelamatkan umat dari pemikiran sesat tersebut.
“Itu satu sisi. Di sisi lain secara jamaah kita mengajak umat agar siap menegakkan Islam kaffah, sebagaimana aktivitas dakwah Rasulullah saat di Makkah,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun