Sanggahan terhadap Penolakan Wajibnya Khilafah

Mediaumat.id – Terkait pernyataan yang menolak wajibnya khilafah dengan alasan bakal memecah belah umat serta menimbulkan berbagai kemudharatan, Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyanggah begini. “Jika terjadi mudharat (bahaya) dalam pelaksanaan suatu kewajiban syar’i, maka yang dihilangkan adalah mudharatnya, bukan kewajibannya,” paparnya kepada Mediaumat.id, Selasa (29/11/2022).

Untuk diketahui sebelumnya, pernyataan menolak wajibnya khilafah berikut alasannya tersebut dilontarkan oleh Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Imam Pituduh. Tak hanya itu, ia juga menyebut sistem khilafah bukanlah solusi tetapi sumber persoalan bangsa.

“Khilafah bukanlah solusi, tapi justru menjadi desepsi (tindakan penyusupan), delusi (keyakinan semu), destabilisasi, dan degradasi bangsa,” kata Imam Pituduh di Jakarta, Jumat (25/11/2022).

Makanya, Kiai Shiddiq merasa perlu meluruskan tudingan itu dengan menyampaikan, bahwa sebagaimana kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih yang berarti menolak kerusakan dengan meninggalkan perjuangan menegakkan khilafah lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan dengan cara berjuang menegakkannya, tidak bisa diterima.

“Wajibnya khilafah tidaklah dapat ditolak dengan alasan kemudharatan (bahaya), apa pun juga bentuk kemudharatan itu, misalnya terpecah belahnya masyarakat, atau bahkan adanya korban harta, jabatan, pekerjaan, bahkan jiwa dari para pejuangnya,” tutur Kiai Shiddiq.

Hal itu dikarenakan jika terjadi kemudharatan dalam pelaksanaan suatu kewajiban syar’i, seperti kewajiban thaharah (bersuci), kewajiban shalat, misalnya, termasuk juga kewajiban khilafah, maka menurut Kiai Shiddiq yang wajib dihilangkan adalah kemudharatannya, bukan kewajibannya itu sendiri.

Sebagaimana pula, tambahnya, telah digambarkan oleh dalil-dalil syar’i yang lain, di antaranya yang pertama, hadist Jabir bin Abdillah ra.

“Dari Jabir bin Abdillah ra, dia berkata kami serombongan sahabat pernah dalam suatu perjalanan, lalu ada seorang laki-laki dari kami yang kepalanya tertimpa batu sehingga luka parah. Di malam hari dia bermimpi basah mengeluarkan mani. Keesokan harinya, dia bertanya, ‘Apakah kamu mendapati ada rukhsah untuk saya (supaya tidak mandi junub dengan air)?’ Para shahabat menjawab, ‘Tidak, kamu mampu menggunakan air.’ Laki-laki itu lalu mandi dan akhirnya meninggal dunia.”

“Ketika kami menemui Nabi SAW, saya melaporkan peristiwa tersebut. Nabi SAW bersabda, ‘Mereka telah membunuh laki-laki itu. Semoga Allah membinasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu, karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Sesungguhnya cukuplah dia bertayammum dan meneteskan air pada lukanya atau memasang semacam perban pada lukanya, kemudian dia mengusapnya dan dia mandi untuk bagian tubuh lainnya’.” (HR Abu Dawud)

Kedua, hadits Imran bin al-Hushayn ra. “Dari Imran bin al-Hushayn ra, dia berkata, ‘Saya pernah menderita penyakit bawasir (ambeien), lalu aku bertanya kepada Nabi SAW mengenai cara shalat.’ Nabi SAW bersabda, ‘Shalatlah kamu sambil berdiri, lalu jika kamu tidak mampu, shalatlah sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu juga, shalatlah sambil berbaring di atas lambung kanan’.” (HR Bukhari)

Dari kedua hadits itu, tegas Kiai Shiddiq lebih lanjut, menunjukkan apabila terjadi mudharat saat seseorang melaksanakan kewajiban thaharah (bersuci) atau shalat, yang dilakukan bukanlah meninggalkan kewajibannya, melainkan menghilangkan kemudharatannya, yakni dengan mengubah cara (kaifiyat) pelaksanaan kewajiban yang ada sesuai petunjuk syariat.

Dengan demikian, ia kembali menegaskan bahwa kewajiban penegakan khilafah tidak dapat digugurkan dengan kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih. Maksudnya, menolak kerusakan (dar’ul mafasid), yaitu meninggalkan perjuangan menegakkan khilafah, lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan (jalbil mashalih), yaitu berjuang menegakkannya.

Pasalnya, kata Kiai Shiddiq mengutip keterangan dari kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pengalaman kaidah fiqih itu kedudukannya selevel dengan dalil qiyas. Yaitu tidak boleh diamalkan jika bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat, yaitu nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sementara kedudukan dalil wajibnya khilafah lebih tinggi dan kuat dari dalil qiyas. “Wajibnya khilafah telah ditunjukkan dengan dalil-dalil berupa nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah, demikian juga dalil berupa ijma’ shahabat, yang kedudukannya lebih tinggi dan lebih kuat daripada dalil qiyas,” tandas Kiai Shiddiq, sebagaimana pula ditegaskan oleh Syaikh Abdullah al-Dumaiji, yang menyampaikan:

‘Wajibnya imamah (khilafah) telah ditetapkan berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’, dan Qawa’id Syar’iyyah.’ (Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wa Al-Jama’ah, Riyadh: Dar Thaybah, Cetakan II, 1408 H, hlm. 45).

“Maka dari itu, jelas sekali wajibnya khilafah tidak dapat ditolak dengan alasan menimbulkan berbagai mudharat, sebagaimana tidak dapat ditolak dengan dasar kaidah-kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: