RUU TNI Diduga Tuk Dapatkan Dukungan Politik TNI

Mediaumat.info – Menanggapi akan disahkannya Revisi UU TNI No. 34 Tahun 2004 yang melegalkan tentara aktif menduduki jabatan sipil dengan istilah Operasi Militer Selain Perang (OMSP), Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan mengatakan revisi ini diduga kuat untuk memperoleh dukungan TNI dalam konsolidasi politik.

“Secara politis, revisi ini diduga kuat adalah bagian dari upaya pemerintahan Prabowo memperoleh dukungan dari TNI dalam konsolidasi politik,” ujarnya kepada media-umat.info, Kamis (20/3/2025).

Riyan melihat, setelah mendapat dukungan 58 % dari rakyat di pilpres 2024. Kemudian yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah merevisi UU Kementrian Negara yang menghasilkan kabinet gemoy, dengan menarik sebanyak-banyaknya berbagai elemen politik dan masyarakat.

Menurut Riyan, secara substansi materi, tiga poin revisi UU diyakini akan semakin memperkuat posisi tentara di ranah sipil. Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, akan menambah kewenangan TNI dengan OMSP.

Kedua, penambahan 5 instansi baru yang dapat diduduki tentara aktif. Penambahan itu tentu makin meluaskan pengaruh tentara, yang seharusnya fokus ke pertahanan negara. Mengutip data Laboratorium Indonesia Emas 2045 (LAB 45), Riyan menyebut sudah ada 2.569 perwira TNI menduduki jabatan sipil di sejumlah kementerian dan lembaga negara pada era pemerintahan Presiden Jokowi.

Ketiga, perpanjangan usia pensiun. Menurut Riyan, perpanjangan usia pensiun itu akan berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan TNI yang notabene banyak perwira tinggi yang saat ini nonjob. Bahkan pada tahun 2018, Imparsial pernah mendata sebanyak 1.069 kolonel dan 156 jenderal berstatus nonjob. Data lain dari BBC, per 2019, ada 150 perwira tinggi berpangkat jenderal dan 500 perwira menengah berpangkat kolonel yang tidak memiliki jabatan struktural.

Riyan menilai, secara sosiologis langkah revisi UU TNI ini makin memperkuat pola kepemimpinan yang populis-otoriter. Yaitu penciptaan citra rezim yang “merakyat” melalui berbagai program populer, seperti MBG (makan bergizi gratis) sebagaimana juga bantuan sosial (bansos), tetapi karena akumulasi dan legitimasi kekuasaan makin besar, maka hal ini berpotensi bahaya ketika pemimpin makin otoriter dalam memaksakan agenda kekuasaan melalui berbagai bentuk kebijakan.

Riyan memandang, Revisi UU TNI ini dikebut hanya sekitar 3 bulan. Artinya, TNI berpotensi menjadi alat kekuasaan, setelah sebelumnya disinyalir terjadi pada polisi. “Pada masa lalu ini yang dikhawatirkan mengarah kepada kembalinya dwifungsi ABRI/TNI di masa Orba, saat Soeharto berkuasa yang terkenal militeristik,” ucap Riyan.

Perspektif Islam

Menjelaskan dalam perspektif Islam, Riyan mengatakan pemerintahan Islam bukan pemerintahan militeristik yang didominasi oleh tentara. Politik luar negeri Daulah Islam adalah dakwah dan jihad. Jihad membutuhkan kesiapan militer dalam konteks mendukung dakwah. Sehingga militer tidak boleh ada dalam pemerintahan. Khalifahlah sebagai pemimpin utama dan militer di belakang politik luar negeri. Tidak boleh pertimbangan militer dan tentara mendominasi politik luar negeri.

“Karena itu berbahaya dan telah terjadi di masa lalu. Sehingga khalifahlah pemimpin yang sesungguhnya dan mengendalikan militer di bawah politik luar negerinya,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: