RUU Perampasan Aset yang Tidak “Sat Set”

 RUU Perampasan Aset yang Tidak “Sat Set”

Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset yang dianggap paling ditakuti koruptor saat ini masih mengalami kemacetan dalam prosesnya. Meski masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2025-2029, RUU tersebut gagal masuk dalam prioritas Prolegnas tahun 2025. Banyak kalangan menyayangkan penyebab tertundanya proses legislasi ini justru datang dari Pemerintah sebagai pihak pengusul.  Pemerintah tidak memasukkannya ke dalam daftar usulan prioritas tahun ini. Padahal dalam banyak kesempatan Presiden Prabowo mengungkapkan kekesalannya pada para koruptor. Belakangan Presiden melempar wacana untuk membangun penjara khusus yang terletak di pulau terpencil agar koruptor tidak bisa melarikan diri. Protes pun mengemuka atas pilihan prioritas yang dianggap tidak tepat. Para pegiat anti korupsi beralasan bahwa RUU ini justru lebih ditakuti para koruptor dari pada penjara di pulau terpencil. Para koruptor sangat takut dimiskinkan.

Melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Pemerintah beralasan punya strategi sendiri sehingga belum memasukkan RUU ini di tahun 2025. Pemerintah bermaksud akan melobi terlebih dahulu para pimpinan partai politik guna memuluskan pembahasan RUU ini. Strategi ini diambil guna memastikan preseden sebelumnya tidak terjadi lagi. RUU ini sebenarnya sudah sejak 2008 digagas oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai senjata untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah dikorupsi. Sayangnya meski telah bolak balik dalam masa 16 tahun antara DPR dan Pemerintah hingga periode Presiden Jokowi pun berakhir, RUU tersebut masih belum disahkan. Ada semacam resistensi dari anggota Parlemen yang membuat prosesnya tidak mengalami kemajuan.

Terlepas dari isi RUU Perampasan aset yang harus ditelaah secara rinci dan dikritisi, “perampasan aset” oleh negara atas harta hasil perbuatan korupsi atau perbuatan jahat lainnya sebenarnya sudah sejak lama diterapkan dalam sejarah Pemerintahan Islam. Ketentuan mengamankan harta hasil kecurangan ini merupakan bagian dari hukum syara’ yang diterapkan oleh Pemerintah.

Dalam kitab Al Amwal fi Daulatil Khilafah disebutkan bahwa setiap pejabat atau pegawai negara yang mendapat harta dengan cara yang tidak syar’i, akan diberikan sanksi atas perbuatannya tersebut. Selain itu, harta hasil kejahatan harus dikembalikan kepada pemilik sah. Jika tidak diketahui siapa pemiliknya, maka harta tersebut disita oleh Pemerintah dan dimasukkan dalam kas negara atau Baitul Mal.

Perolehan harta dianggap tidak sah jika memperolehnya dilakukan dengan cara memanfaatkan jabatan, kekuasaan atau status kepegawaian si pelaku. Sumber harta tersebut bisa saja berasal dari harta negara ataupun harta individu dan masyarakat umum. Jenisnya bisa berupa suap, hadiah yang diberikan karena status jabatan atau kepegawaian, harta dari tindakan kesewenang-wenangan, hasil makelar, ataupun hasil korupsi.

Selain itu, penambahan harta pejabat dan pegawai negara yang nilainya tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan asal sumber sahnya, juga akan disita oleh Negara. Ketentuan ini dikenal sebagai hukum pembuktian terbalik. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, melakukan penghitungan kekayaan para pejabat negara Khilafah di bawah kekuasaannya di saat sebelum dan sesudah masa jabatan. Jika ada penambahan harta yang diragukan sumbernya, khalifah akan menyita dan memasukkan kelebihan harta tersebut ke dalam Baitul Mal.

Penyitaan harta tidak hanya berlaku bagi pejabat dan pegawai negara yang melakukan kecurangan. Hal tersebut juga berlaku terhadap semua harta yang dilarang perolehannya secara syara’ oleh siapa pun. Misalnya, harta dari hasil riba akan dikembalikan kepada pemilik sah, dan jika tidak diketahui siapa pemilik sahnya maka akan dimasukkan ke dalam Baitul Mal. Hal yang sama berlaku terhadap harta dari hasil berjudi.

Pengembalian harta kepada pemilik sahnya atau ditempatkan di Baitul Mal untuk dapat dipergunakan nantinya bagi keperluan pengurusan publik merupakan pengaturan yang adil. Namun hanya akan menjadi teori jika tidak ada kekuatan yang mengimplementasikannya.

Dalam konteks negara demokrasi saat ini, norma atau ajaran dapat diberlakukan saat menjadi aturan positif layaknya Undang-undang. RUU Perampasan Aset harus disepakati dulu oleh pihak eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) agar dapat menjadi UU. Sayangnya, proses legislasi yang menjadikan suatu norma menjadi UU ini sangat dipengaruhi kepentingan para pihak pembentuk UU tersebut. Inilah ciri khas demokrasi. Jika ketentuan perampasan aset dikhawatirkan akan mencelakai banyak dari oknum anggota parlemen dan parpol termasuk juga dari pihak eksekutif, sulit mengharapkan RUU tersebut akan disahkan. Jika disahkan pun karena tekanan kuat dari publik, biasanya akan ada pasal karet yang berpeluang untuk dipermainkan. Selama ini tidak sedikit para terpidana korupsi berasal dari kalangan mereka. Jebakan sistem politik yang transaksional telah menyeret banyak sekali pelaku dunia politik untuk memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk meraup kekayaan. Sebagiannya untuk melumasi mesin politik, sebagian lainnya untuk memuaskan syahwat dunia.

Hukum Islam juga membutuhkan kekuasaan untuk bisa diimplementasikan. Tapi bukan jenis hukum yang aturan mainnya bisa diotak-atik sesuai dengan kepentingan. Hukum Islam merupakan ketentuan Allah SWT yang tidak boleh diubah-ubah oleh manusia. Namun tentu saja butuh pelaksana praktis. Itulah Khalifah.[].

Muhammad K (Founder ISGOV – Islamic Governance Initiative)

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *