RUU Kesehatan Jadi UU, Pengamat: Bukti Demokrasi Mati di Negeri Ini

Mediaumat.id – Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi menegaskan, pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi UU, membuktikan bahwa demokrasi di negeri ini telah mati.
“Ini bukti bahwa demokrasi mati di negeri ini” ujarnya dalam Bincang Perubahan: RUU Kesehatan Ditolak Rakyat, Kok Malah Disahkan, Bukti Demokrasi Mati? di kanal YouTube Bincang Perubahan, Rabu (12/7/2023).
Pasalnya, sebelum disahkan menjadi UU, RUU ini sempat diprotes oleh banyak pihak, termasuk para tenaga medis, pakar, ilmuwan, akademisi, agar pengesahannya ditunda.
Namun, seperti halnya seseorang yang kebelet pipis, kata Arbi mengibaratkan, RUU ini terkesan dipaksakan pengesahannya. “RUU ini dipaksakan untuk disahkan, ini berarti demokrasi mati,” sebutnya kembali.
Lebih dari itu, Arbi menyebut negeri ini layaknya negara dengan hukum rimba yang notabene tak perlu ada pendapat atau suara-suara rakyat yang harus didengar. “Ini kan negara rimba namanya negeri kita ini,” cetusnya, menambahkan.
Hal ini sebagaimana pula dirasakan Iqbal Mochtar dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Ia mengaku bingung dengan draf RUU atau UU yang sudah disahkan tersebut.
Sebabnya, hingga kini, pihaknya belum mendapatkan atau mengetahui isi draf mana yang disahkan menjadi UU. “Nah kita sendiri organisasi profesi ini masih bingung, masih belum dapat informasi secara jelas, draf mana yang akan keluar,” kata Iqbal kepada awak media di Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Karenanya, lebih lanjut Arbi berharap pemerintah meninjau kembali UU yang bakal bersinggungan dengan kepentingan seluruh rakyat Indonesia ini. “Undang-undang Kesehatan itu kan menyangkut 275 juta nasib orang Indonesia,” tandasnya.
Baca juga: UIY: Dua Bahaya Ketika Kesehatan Menjadi Industri
Omong Kosong
Di saat yang sama Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroki yang turut hadir kala itu, pun menyampaikan, bahwa sudah menjadi tabiat rezim saat ini yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi tetapi faktanya tidak.
“Kalau kita lihat (rezim ini) teriaknya demokrasi, praktiknya otokrasi,” timpalnya, yang berarti rezim memiliki kecenderungan ke arah penguasa otoriter.
Menurutnya, perkara ini tak jauh beda dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan ‘inkonstitusional bersyarat’ oleh MK dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan dibacakan pada 25 November 2021 lalu.
Artinya, putusan MK yang memiliki kekuatan hukum mengikat ini, secara otoriter malah terkesan ‘dihidupkan’ kembali oleh rezim.
Adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang juga sudah disahkan pada 30 Desember 2022, digunakan untuk menghidupkan kembali UU yang sebelumnya dinyatakan ‘inkonstitusional bersyarat’ oleh MK tersebut.
“Ini menunjukkan apa? Otoriter. Jadi kalau dibilang demokrasi itu omong kosong,” tegas Wahyudi, tentang yang terjadi sebenarnya di negeri ini.
Maknanya, hal ini menunjukkan wajah demokrasi yang tak selaras dengan perilaku para elitenya. “Wajahnya, wajah demokrasi, tapi kelakuannya dengan wataknya otoriter,” sebut Wahyudi.
Sehingga, ia pun membenarkan pernyataan bahwa pasca pengesahan RUU Kesehatan Omnibuslaw menjadi UU, rakyat Indonesia pada umumnya, bakal lebih jauh dari harapan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah, aman dan nyaman.[] Zainul Krian