Ribuan demonstran turun ke jalan di Den Haag pada Sabtu (17/5) dalam aksi protes menentang partisipasi Israel dalam Kontes Lagu Eurovision dan menyuarakan keprihatinan terhadap situasi kemanusiaan di Gaza. Aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap, apa yang disebut peserta aksi, sebagai standar ganda negara-negara Barat dalam menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia.
Dalam unjuk rasa yang berlangsung damai tersebut, peserta menggambar “garis merah” simbolis di sepanjang jalan utama kota. Garis tersebut melambangkan batas moral atas apa yang mereka anggap sebagai pembiaran terhadap kekerasan yang terus berlangsung di Jalur Gaza.
Partisipasi Israel dalam ajang Eurovision memicu kontroversi, terutama karena berlangsung di tengah laporan-laporan kelaparan, blokade, dan kematian warga sipil di Gaza. Para demonstran mempertanyakan keputusan penyelenggara yang mengizinkan Israel tetap berpartisipasi, sementara Rusia dikeluarkan dari kompetisi serupa pada 2022 akibat invasinya ke Ukraina.
Salah satu suara yang paling vokal datang dari Sumaya Bint Khayyat, aktivis Hizb ut Tahrir yang menulis pernyataan opini terkait aksi ini. Ia menyampaikan kritik keras terhadap apa yang disebutnya sebagai kemunafikan sistem internasional dalam menangani isu-isu hak asasi manusia.
“Bahwa Israel diizinkan berpartisipasi dalam Eurovision di tengah genosida skala penuh — sementara Gaza benar-benar kelaparan dan dibantai — menunjukkan kemunafikan Barat yang sekuler,” kata Sumaya. Ia juga menyebut bahwa lembaga-lembaga Barat tidak lagi bisa dipercaya sebagai penjaga nilai-nilai universal. “Retorika hak asasi manusia selalu dan sedang digunakan sebagai alat geopolitik, bukan sebagai kompas moral,” tambahnya.
Lebih jauh, Sumaya menyoroti tanggapan negara-negara besar terhadap konflik tersebut. “Kelaparan di Gaza bukanlah bencana alam. Itu adalah tragedi yang dibuat manusia dan dibangun secara politis, yang dimungkinkan oleh kebungkaman dan kepasifan negara-negara Barat,” ujarnya. Ia juga menilai bahwa kehidupan warga Palestina “tunduk pada standar yang berbeda.”
Kritik tak hanya diarahkan pada negara-negara Eropa seperti Belanda, Jerman, dan Prancis, namun juga pada para pemimpin negara-negara Muslim. “Yang lebih keterlaluan adalah kebungkaman para pemimpin Muslim kita,” katanya.
Dalam pesannya, Sumaya juga menyuarakan seruan untuk mencari alternatif terhadap sistem politik global saat ini, yang menurutnya gagal menjamin keadilan. “Islam menawarkan kerangka kerja yang berprinsip dan konsisten di mana hak-hak perempuan, anak-anak, kaum miskin, dan kaum tertindas bukan slogan, tetapi kewajiban masyarakat,” pungkasnya.
Aksi ini menjadi bagian dari gelombang protes yang meluas di Eropa dan belahan dunia lainnya sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina, sekaligus cerminan ketidakpuasan publik terhadap respons internasional terhadap krisis Gaza. []AF
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat