Reshuffle Yang Bagaimana Lagi, Pak Jokowi?

Oleh: Mahfud Abdullah (Direktur Indonesia Change)
Dikutip dari jawapos.com (28/6/2020) Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram terhadap kinerja para menteri kabinet Indonesia Maju dalam menangani virus korona atau Covid-19. Bahkan, mantan wali kota Solo itu mengancam akan membubarkan lembaga atau mencopot para menteri. Hal itu ditegaskannya saat membuka sidang kabinet pada Kamis (18/6) lalu.
“Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Sudah kepikiran ke mana-mana saya,” kata Jokowi di hadapan para menteri dalam video yang diunggah di saluran Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6)
Catatan
Hmm… Apakah wacana reshuffle kali ini juga sekaligus mengokohkan konsolidasi politik rezim hari ini? Tentu netizen dan masyarakat bisa menilai. Yang pasti ketika dukungan politik dari partai – partai politik di DPR kepada rezim Jokowi makin solid. Dengan itu, berbagai kebijakan rezim Jokowi yang makin liberal juga akan mulus.
Namun perlu diingat, ada begitu banyak di kalangan masyarakat yang menilai Pemerintahan Jokowi sangat memperhatikan kepentingan Cina, terutama dalam dua bidang: infrastruktur dan perdagangan. Utang dari Cina mendominasi pembiayaan infrastruktur. Kepentingan investasi Cina itu terwakili melalui sosok Menteri BUMN Rini Soemarno. Utang dari Cina disalurkan melalui BUMN seperti utang US$ 3 miliar yang disalurkan melalui tiga bank BUMN: BNI, BRI dan Bank Mandiri. Begitu juga proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai dengan utang dari Cina banyak yang dikerjakan oleh BUMN.
Adapun Barat, terutama Amerika dan Eropa, merasa kepentingannya kurang diperhatikan. Kepentingan Barat selama ini tampak dominan dalam dua bidang: pasar keuangan serta pertambangan minerba dan migas. Jika kepentingan Barat itu tidak segera dipenuhi, hal itu bisa jadi akan “mengganggu”. Untuk memenuhi kepentingan Barat itu dibutuhkan sosok yang “market’s trusted” (dipercaya pasar). Dibutuhkan sosok dinilai tepat bagi mereka. Pasar pun mungkin menyambut positif reshuffle. IHSG dan kurs Rupiah menguat. Dengan hadirnya sosok yang dianggap bisa menarik investasi, khususnya hot money (uang panas).
Dengan wacana reshuffle ini, muncul dugaan dalam rangka menjadikan kepentingan Cina dan Amerika/Eropa sama-sama dipenuhi. Keduanya bisa membawa modal dalam bentuk hot money dan utang, yang bisa membuat indikator makro terlihat baik.
Namun, di balik itu sebetulnya ada bahaya. Masuknya modal dalam bentuk hot money bisa menguap kapan saja. Utang dari Cina pun tidak menciptakan lapangan kerja besar di dalam negeri karena banyak tenaga kerjanya juga dari Cina. Semua itu akan membuat negeri ini makin jatuh dalam pengaruh dan kepentingan Barat dan Timur.
Jika reshuffle terjadi, ini berpotensi makin mengokohkan neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Keduanya adalah ancaman besar bagi negeri ini dan penduduknya.
Pangkal dari semua itu adalah penerapan ideologi sekularisme-kapitalisme dengan politik demokrasinya yang sarat dengan politik transaksional dan sistem ekonomi liberalnya. Sudah terbukti semua itu telah membuat negeri ini terpuruk.
Karena itu tidak layak sekularisme-kapitalisme dengan demokrasi dan liberalismenya itu terus dipertahankan. Semua itu harus ditinggalkan dan diganti dengan sistem Islam, dengan penerapan syariah secara menyeluruh. Syariah akan bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Jika sosialisme-komunisme dan sekularisme-kapitalisme telah terbukti rusak dan merusak, lalu dengan apa lagi jika bukan dengan Islam dan syariahnya kita bisa mewujudkan kehidupan yang baik untuk semua.[]