Reformasi Polri, Bakal Tak Sebagus Teorinya?

MediaUmat Langkah Pemerintahan Prabowo yang membentuk Komite Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam rangka mengkaji ulang tugas, wewenang, kedudukan, dan ruang lingkup Polri, dinilai Komisaris Jenderal Polisi (purn) Dharma Pongrekun bakal tak sebagus teori seharusnya.

Das sollen-nya (teori seharusnya) hampir-hampir bagus. Yang jadi masalah adalah das sein (kenyataannya),” tuturnya dalam Dialog: 36 Tahun di Polri, Purn Jenderal Bongkar Rahasia Ini! Seret Nama Kapolri Hingga Presiden, Selasa (30/9/2025) di kanal YouTube Refly Harun.

Seperti halnya reformasi Polri yang pernah dilakukan pasca-1998 dan melahirkan sejumlah capaian yang dianggap penting, di antaranya pemisahan dari ABRI (sekarang TNI), penegasan fungsi sipil, dan peningkatan akuntabilitas publik, justru harapan agar Polri mencintai rasa kemanusiaan serta membantu dan mengayomi masyarakat masih jauh panggang dari api.

Berawal dari krisis ekonomi disusul kerusuhan hingga bergulirnya Reformasi 1998 serta pemisahan Polri dari ABRI sebagaimana dipaparkan sebelumnya, kepemimpinan lembaga kepolisian di Republik Indonesia menjadi di bawah kepresidenan.

Hal ini merupakan konsekuensi dari sistem kepolisian terpusat (centralized system of policing), yang berarti mereka berada di bawah kendali langsung pemerintah pusat, bukan otoritas lokal/daerah.

Tak ayal, jabatan kepala Polri pun menjadi strategis dan menguat karena keberadaannya memang langsung di bawah perintah presiden. “Di situ menjadi jabatan strategis dan posisi yang lebih menguat, (karena) tanpa disadari keberadaannya langsung berada di bawah perintah (presiden),” ungkap Dharma.

Menurut Dharma, fenomena salah tangkap dan adanya penyiksaan saat penangkapan sudah menjadi rahasia umum. Terutama dalam kasus narkoba dan terorisme. Tidak itu saja, ada di antara mereka (baca: oknum) yang justru menjadi bagian dari kejahatan, baik itu kejahatan konvensional, transnasional, dan kejahatan lingkungan.

Dharma menyebut, yang terlibat pun beragam. Mulai dari pangkat kopral hingga ada yang jenderal. Belum lagi laporan dari Komnas HAM, bahwa anggota Polri kerap melanggar HAM saat melakukan penegakan hukum dan menangani unjuk rasa serta menjadi ancaman bagi kebebasan sipil

Bahkan, jelas Dharma, catatan akhir tahun 2024 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan Polri menjadi pihak yang paling banyak diadukan melakukan pelanggaran HAM, yakni 663 aduan. Peristiwa tewasnya Affan Kurniawan, ojek daring yang dilindas kendaraan taktis Polri di tengah massa unjuk rasa pada 28 Agustus 2025, kian menggenapinya.

Padahal, ungkap Dharma, di dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai alat negara seharusnya bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melindungi, mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum, bukan alat rezim penguasa untuk menjalankan kepentingannya.

“Prinsip ‘Polri adalah alat negara dan bukan alat rezim penguasa’, dipertegas dengan UU 2/2002 tentang Polri yang selain memisahkan dari TNI, juga mengatur fungsi dan tugas kepolisian di negeri ini,” sebutnya.

Sebab itu, tegasnya lagi, Polri semestinya berperan sebagai aparat pemelihara keamanan dalam negeri, penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Demikian, perbaikan memang diperlukan tetapi menurut Dharma, tak bisa dilakukan parsial. Terlebih lembaga kepolisian adalah salah satu subsistem dari keseluruhan sistem pemerintahan negara termasuk kepresidenan.

Ibarat pepatah ‘ikan busuk dari kepala’, setiap pelanggaran yang dilakukan institusi Polri tidak bisa lepas dari keberadaan presiden. “Siapa kepalanya Polri? Presiden. Sehingga kebijakan untuk melakukan reformasi kembali adalah, haknya presiden,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: