MediaUmat – Pakar Hukum Tata Negara Dr. Refly Harun menilai elite penguasa kini mengelola negara secara ugal-ugalan, membiarkan ketimpangan pendapatan pejabat yang luar biasa.
“Betapa negara ini kadang-kadang dikelola secara ugal-ugalan. Pendapatan itu enggak karu-karuan, ketimpangannya luar biasa,” ujar Refly dalam diskusi bertajuk Gila angkanya! Pantas saja ngotot rangkap jabatan, bisa dapat 7 miliar sebulan! yang tayang di kanal YouTube Refly Harun Official, Rabu (25/6/2025).
Menurut Refly, dari total 56 wakil menteri yang menjabat saat ini, sebanyak 26 orang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN besar. “Artinya, 30 lainnya mungkin sedang dicari-cari pos rangkap jabatannya,” sindirnya.
Kecaman Refly tak berhenti pada jumlahnya, ia menggambarkan situasi ini sebagai pesta kekuasaan yang menistakan akal sehat publik.
“Saya bilang, kalian ini sedang berpesta pora. Sedang dibagi-bagi jabatan dobel. Yang belum kebagian, ya lagi dicari-cari tempatnya,” lanjutnya.
Refly menilai, kebijakan semacam ini adalah penghinaan terhadap prinsip pelayanan publik dan logika pemerintahan yang sehat.
“Kalau dia mau jadi komisaris utama, ya jangan jadi wakil menteri. Kalau dia mau jadi wakil menteri, jangan jadi komisaris. Kan begitu,” tegasnya.
Refly mengungkap, salah satu BUMN, yakni Pertamina, menggaji satu orang komisaris hingga Rp8,8 miliar per bulan. “Dipotong pajak 20 persen pun masih 7 miliar. Kurang ajar, kan?” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menyoroti potensi konflik kepentingan yang melekat dalam struktur birokrasi yang saling silang jabatan.
“Kalau Kementerian BUMN mengusulkan kenaikan gaji untuk komisaris—sementara pejabat kementerian itu sendiri duduk sebagai komisaris—itu namanya jeruk makan jeruk. Conflict of interest-nya parah,” jelasnya.
Refly juga menolak keras pembenaran bahwa rangkap jabatan dilakukan demi pengabdian. Ia menilai itu hanyalah dalih untuk melanggengkan keuntungan pribadi.
“Pejabat publik itu harus menjunjung moralitas, etikatibilitas, baru hukum. Kalau motivasinya tambahan penghasilan, itu keserakahan,” tegas Refly.
Dalam kerangka hukum positif, Refly menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan sudah sangat jelas diatur.
“Undang-Undang tentang Pelayanan Publik itu jelas kok. Pasal 17 menyebutkan pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha jika berasal dari instansi pemerintah, BUMN, atau BUMD. Cetho welo, jelas!” ujarnya.
Refly juga mengarahkan kritiknya langsung kepada Presiden Prabowo.
Menurutnya, kepala negara seharusnya tidak membiarkan, apalagi menyetujui praktik yang merusak integritas pemerintahan.
“Masa Presiden Prabowo membiarkan para wakil menterinya rangkap jabatan? Kalau mau jadi komisaris utama, jangan jadi wakil menteri. Kalau jadi wakil menteri, jangan jadi komisaris. Begitu saja kok repot,” cetusnya.
Untuk menunjukkan konsistensi sikap, Refly menyinggung keputusan moral yang ia ambil saat menjabat di masa lalu. “Padahal cuma staf khusus. Tapi saya langsung berhenti. Karena saya ingin fokus dan tidak rangkap jabatan,” jelasnya.
Ia bahkan secara terbuka menegaskan bahwa hingga 2029 ia menolak segala tawaran jabatan publik.
“Saya sudah declare, sampai 2029 saya tidak akan menerima jabatan publik apa pun. Bukan karena enggak ditawari, tapi karena saya ingin tetap punya garis demarkasi moral,” tandasnya.
Sebagai respons atas situasi tersebut, Refly mendorong upaya hukum melalui Mahkamah Konstitusi agar laporan keuangan para komisaris dibuat transparan dan terbuka ke publik.
“Kita gugat saja ke MK agar laporan keuangan komisaris harus detail, menyebutkan penghasilan mereka,” pungkasnya.[] Zainard
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat