Rakyat Jengah dengan Perilaku Kepolisian

MediaUmat – Penulis buku Revolusi Tanpa Setetes Darah HM Ali Moeslim menyampaikan rakyat khususnya golongan menengah dan bawah merasa jengah dengan sikap kepolisian yang tidak melayani dan mengayomi, malah berpihak pada penguasa, sudah menjadi alat kekuasaan.
“Masyarakat luas terutama rakyat golongan menengah dan bawah, selama ini merasa tidak puas bahkan jengah dengan sikap dan perilaku kepolisian, tidak lagi melayani dan mengayomi rakyat, tapi sudah dianggap keberpihakkannya pada penguasa, sudah menjadi alat kekuasaan dalam membela dan melindungi ketidakadilannya,” ujarnya kepada media-umat.com, Kamis (25/9/2025).
Kepolisian saat ini, jelas Ali, citranya semakin rusak akibat keberpihakan mereka kepada pemilik modal ekonomi dan politik.
“Bahkan yang sangat parah image di masyarakat menyebut bahwa dalam banyak kasus, kepolisian telah menjadi alat oligarki dalam melindungi keserakahannya,” tegasnya.
Ali mengkritisi efektivitas dua tim reformasi kepolisian yang baru dibentuk, baik oleh Presiden maupun Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia mengutip pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang menyatakan kedua Tim Reformasi Kepolisian itu minim keterbukaan terhadap masyarakat sipil dan berpotensi hanya menjadi formalitas.
Jaminan Keamanan
Dalam Islam, ungkap Ali, setiap orang berhak mendapatkan jaminan keamanan. “Bahkan salah satu tujuan agung syariat Islam adalah menjamin keamanan, baik bagi masyarakat maupun negara,” sambungnya.
Untuk itulah dibentuk institusi kepolisian (syurthah), jelasnya, yang merupakan pasukan yang dibentuk oleh pemimpin negara Islam atau wali/gubernur untuk menjaga keamanan dan melindungi aturan, menangkap pelaku kejahatan dan para pengacau, serta tugas lain seperti pekerjaan administratif yang menjamin keselamatan rakyat dan ketenangan mereka.
Keamanan Dalam Negeri
Kepolisian dalam Islam, jelas Ali, adalah kekuatan utama untuk menjaga keamanan dalam negeri dari berbagai ancaman dan gangguan seperti pencurian, perampokan, zina, murtad, vandalisme, dan sebagainya.
“Polisi juga diberi kewenangan menggunakan senjata untuk menghadapi kaum pemberontak (bughat) dan separatis yang mengganggu keamanan umum seperti mengancam harta warga, aset-aset umum dan negara,” ujarnya mengutip kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm karya Syeikh Abdul Qadim Zallum.
Dalam Islam, tegas Ali, polisi menjalankan tugasnya sesuai hukum syariat. Mereka haram memata-matai rakyat, melakukan penyadapan, meretas ponsel, email, nomor telepon, dan sebagainya dengan alasan mencegah kejahatan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sungguh sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kalian memata-matai orang lain (tajassus)” (QS al-Hujurat [49]: 12).
Menurut Ali, kepolisian malah diperbolehkan memata-matai pihak-pihak yang dinilai sebagai ahlur-riyab, yaitu orang-orang yang terindikasi kuat akan menimpakan bahaya kepada masyarakat, negara dan warga.
“Di antaranya warga yang punya hubungan akrab dengan negara kafir harbi fi’l[an] (de facto) maupun kafir harbi hukm[an] (de jure). Misalnya, warga yang akrab dengan negara imperialis macam Israel, Amerika Serikat, dan sebagainya,” lanjutnya.
Keimanan dan Ketakwaan
Ali menilai, keimanan dan ketakwaan pejabat maupun pegawai negara itu penting.
Namun, menurutnya, sistem dan struktur yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting yaitu dengan Islam.
“Walhasil kepolisian harus hadir untuk menenteramkan warga, bukan meresahkan dan membuat warga ketakutan,” tutup Ali.[] Muhammad Nur
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat