Mediaumat.id – Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengizinkan pernikahan lelaki Kristen dengan perempuan Muslimah beberapa waktu lalu, dinilai harus ditolak oleh setiap orang Islam.
“Wajib ditolak oleh setiap orang yang di dalam hatinya masih mengakui kebenaran Al-Qur’an dan Rasulullah,” ujar Pengasuh Majelis Kajian Islam Kaffah Ustadz Utsman Zahid as-Sidany kepada Mediauumat.id, Senin (26/6/2023).
Sebab, menurutnya, putusan tersebut menyalahi ketentuan yang Allah SWT tetapkan. Sehingga pelanggaran dimaksud termasuk kejahatan besar. “Pelanggaran terhadap ketentuan itu (yang Allah SWT haramkan) adalah kejahatan besar,” cetusnya, yang berarti ‘melawan’-Nya.
Terlebih, lanjut Ustadz Zahid, tidak ada perbedaan pendapat dari para ulama tentang haramnya perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. “Final, berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan ijma’,” ulasnya.
Sebagaimana diberitakan, dengan dalih sosiologis yaitu keberagaman masyarakat, Hakim PN Jakpus Bintang AL mengizinkan pernikahan beda agama. Disebutkan calon mempelai laki-laki, JEA adalah seorang Kristen dan calon mempelai wanita, SW adalah seorang Muslimah.
“Sangat ironis bilamana perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang,” ucap Hakim Bintang AL dari pertimbangan penetapannya, Ahad (25/6/2023).
Hakim Bintang AL juga beralasan, putusan itu sesuai Pasal 35 huruf a UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Juga berdasarkan putusan MA Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama.
Namun terlepas apa pun dalihnya, kata Ustadz Zahid lebih lanjut, pernyataan itu semestinya tak terlontar dari seorang pengadil.
“Pernyataan ini sangat ironis muncul di dan dari ‘manusia pengadilan’ di sebuah negeri yang katanya di dalam dasar negeranya tercantum ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ dan kemerdekaannya pun, katanya juga ‘atas berkat Rahmat Allah yang Mahakuasa’,” urainya.
Artinya pula, kata Ustadz Zahid, dikarenakan Allah SWT telah mengharamkan seorang Muslimah menikah dengan laki-laki kafir termasuk Nasrani, dsb., maka putusan tersebut, sekali lagi termasuk kejahatan.
“Bagaimana (mungkin) kejahatan dilegalkan oleh manusia yang katanya berketuhanan yang Maha Esa? Sungguh ironis!” tambahnya.
Di saat yang sama, Ustadz Zahid pun menyampaikan bahwa peristiwa ini ibarat fenomena gunung es, yang berarti di luar tampak baik-baik saja, namun di dalam kondisinya sangat mengerikan.
Fenomena ini pun, menurutnya, sekaligus mengungkap adanya ‘cacat’ keimanan dan keislaman dari sebagian masyarakat Muslim di negeri ini. Ditambah, menggambarkan betapa telah menggurita paham pluralisme dan anggapan kebenaran subyektif agama. “Astaghfirullah!” ucapnya.
Lebih jauh ia juga menyebut, munculnya putusan ini adalah hasil dari kampanye toleransi dan moderasi beragama yang selama ini digembar-gemborkan oleh beberapa pihak dengan pendanaannya yang tentu cukup besar pula.
Prihatin
Sebelumnya, terkait fenomena ini, Ustadz Zahid mengaku prihatin namun tak begitu terkejut. “Prihatin, karena kini manusia Indonesia, sebuah negeri yang dikenal penduduknya mayoritas Muslim, sudah semakin berani kepada Allah,” terangnya.
Dengan kata lain, ia merasa sedih melihat betapa manusia atas dasar hawa nafsu, selera, serta akal semata, berani menetapkan hukum. Padahal, seperti dipahami bersama, menetapkan hukum menjadi hak Allah saja, Tuhan Pencipta alam semesta.
‘Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.’ demikian bunyi kutipan Surat Al-An’am: 57.
Lantas mengapa ia merasa tak kaget, sebab sebelum-sebelumnya sudah pernah terjadi di berbagai daerah, semisal Yogyakarta, Tangerang, Jakarta Selatan dan kini Jakarta Pusat.
Pun, tambahnya, hal ini termasuk konsekuensi logis dari penerapan sistem demokrasi yang notabene berdiri di atas ideologi sekulerisme, yakni menjadikan manusia layaknya ‘tuhan’, sebagai konsekuensi dari memisahkan agama dari negara dan kehidupan.
Maka dari itu, kepada seluruh kaum Muslim harusnya turut prihatin, sekaligus geram dengan kenyataan ini.
“Bagaimana mungkin seorang Muslim rela di negerinya ada hukum selain hukum Allah mengatur kehidupannya, bahkan kehidupan yang sangat pribadi, yaitu nikah! Masih adakah sebiji dzarrah dari iman di dada kita?” lontarnya, memungkasi.[] Zainul Krian