Proyek Neokonservatif AS yang Baru Menginginkan Perubahan Pemerintahan di Turki

Jajaran kelompok lobi neokonservatif baru yang menyebut dirinya “Proyek Demokrasi Turki” telah mengumpulkan sekelompok sayap kanan terkenal dalam politik Amerika yang telah mendukung penggulingan pemerintah di seluruh dunia.
Salah satu tokoh terbaru yang bergabung dengan organisasi yang disebut “non-partisan” adalah mantan penasihat keamanan nasional sayap kanan Presiden Donald Trump, John Bolton.
Dari 2013 hingga Trump mengangkatnya menjadi penasihat keamanan nasionalnya pada 2018, Bolton adalah ketua Gatestone Institute, yaitu sebuah wadah pemikir anti-Muslim yang berbasis di New York.
Gatestone Institute telah digambarkan sebagai organisasi yang “berfokus pada upaya memicu ketakutan tentang imigran dan Muslim”. Dewan Hubungan Amerika-Islam, sebuah kelompok advokasi dan hak-hak sipil, menyebut Gatestone sebagai “bagian penting dari seluruh industri rumahan Islamofobia di internet”.
Orang-orang terkenal lainnya termasuk saudara laki-laki George W Bush, mantan gubernur Florida dan calon presiden yang gagal, Jeb Bush. Mantan wakil direktur operasi di CIA, Robert Richer, dia juga berada di dewan penasihat.
Organisasi itu konon prihatin dengan keadaan demokrasi di Turki, ini adalah sebuah klaim yang telah dicoba dan diuji yang sebelumnya telah menyebabkan CIA menggulingkan pemerintah yang tidak disukainya.
Bolton juga dituduh berusaha mengatur kudeta di Venezuela selama masa jabatan Trump dalam upaya memberi perusahaan minyak AS akses ke sumber daya alam negara itu.
Sepanjang karirnya, Bolton juga telah berperang melawan Iran, mengadvokasi penggulingan sistem pemerintahan negara saat ini. Sebagai gantinya, Bolton telah mendukung Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (MEK), sebuah kelompok keagamaan yang sampai saat ini diakui sebagai organisasi teroris karena membunuh warga sipil.
“Proyek Demokrasi Turki” mengatakan bahwa mereka mencari kembalinya hari-hari ketika negara itu “adalah sekutu yang dapat diandalkan dan model di kawasan cita-cita liberal dan kebebasan budaya”.
Antara pemilihan demokratis pertama Turki pada tahun 1946 dan 2000, negara itu mengalami empat kudeta. Setelah kudeta tahun 1980-an, wanita Muslim dilarang mengenakan jilbab di gedung publik mana pun, termasuk sekolah. Akibatnya, undang-undang tersebut menghambat pendidikan perempuan.
Sungguh, dekade-dekade itu jauh dari “cita-cita liberal” yang dimaksudkan oleh organisasi untuk membawa negara itu kembali bagi banyak orang di Turki.
Ketika Turki berusaha mengejar kepentingan keamanan nasionalnya di wilayah terdekatnya, beberapa politisi di AS menyesali hari-hari baik di mana Turki akan bertindak demi kepentingan nasional Washington.
Dewan penasehat proyek memiliki beberapa suara ekstremis anti-Iran, termasuk CEO kelompok itu, Mark D. Wallace, yang membentuk kelompok serupa, tetapi menyebutnya dengan “Bersatu Melawan Nuklir Iran”.
Salah satu anggota proyek baru yang kurang dikenal adalah Aykan Erdemir, buronan di Turki karena menghancurkan, mencuri, dan menyalahgunakan dokumen negara terkait keamanan nasional dan hubungan dengan organisasi teroris terlarang di balik upaya kudeta gagal 15 Juli yang dikenal sebagai Organisasi Teroris Fetullah (FETO) (trtworld.com, 28/6/2021).
Ini bukan hal baru. Para pejabat dan lembaga think tank AS tidak secara terbuka membahas perubahan rezim di dunia Muslim, tetapi juga terlibat langsung dalam memasang boneka mereka di dalam tampuk kekuasaan. Ironisnya, kepemimpinan dunia Muslim, termasuk Turki terus bekerja untuk menjaga kepentingan AS, padahal mereka tahu persis bahwa mereka dapat digulingkan dari kekuasaan kapan saja (hizb-ut-tahrir.info, 2/7/2021).