Protes Bupati Meranti, Wujud Kegagalan Pembangunan Daerah oleh Pusat

 Protes Bupati Meranti, Wujud Kegagalan Pembangunan Daerah oleh Pusat

Mediaumat.id- Protes Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil kepada pemerintah pusat dinilai oleh Analis dari Lembaga Analis dan Kajian Politik (LANSKAP) Ainul Mizan sebagai wujud kegagalan pembangunan daerah oleh pusat.

“Ini merupakan wujud kegagalan dari pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat,” tuturnya di Kabar Petang: Ketika Rakyat Enggak Puas dengan Pengelolaan Migas, Jumat (16/12/2022) melalui kanal YouTube Khilafah News.

Protesnya Muhammad Adil diaminkan oleh Ketua Komisi 1 DPRD Meranti. DPRD Meranti sejak dulu berusaha meminta transparansi kepada pemerintah pusat terkait dengan jumlah keseluruhan aset migas yang dieksploitasi di Meranti karena dana yang diberikan pusat sangat kecil dibanding dengan kebutuhan Kepulauan Meranti.

“Sejak Mekar dari Kabupaten Bengkalis sekitar 12 atau 13 tahun hingga 2022 ini jalur infrastruktur lalu lintas darat yang menghubungkan wilayah Kabupaten Meranti antara ibu kotanya dengan beberapa Kecamatan masih sangat minim. Jembatan-jembatan yang menghubungkan juga enggak ada. Hanya Pelabuhan Roro Kampung yang diandalkan selama ini untuk menghubungkan pusat Kabupaten Meranti ke sembilan kecamatan yang lain,” bebernya.

Ditambah lagi tingkat kemiskinan yang ada di Meranti, ujar Ainul, itu paling parah di Kepulauan Riau dibandingkan kabupaten yang lain. Pada 2021 tingkat kemiskinannya sekitar 25,68% atau sejumlah 45.800 penduduk dari total jumlah penduduk sekitar 200.000 penduduk.

“Standar pendapatan di Meranti itu di bawah 542.599 rupiah per bulan. Ini sudah 12 sampai 13 tahun berjalan. Kalau ukuran dari sebuah daerah tentunya ada peningkatan yang signifikan terkait dengan kesejahteraannya, terkait dengan indeks pembangunan ekonominya, infrastrukturnya. Ini yang dituntut oleh para pejabat di Kepulauan Meranti yang diaminkan oleh DPRD-nya,” ungkapnya.

Ainul menilai pemerintah pusat terkesan hanya ingin mengambil hasil sumber daya alam di Meranti yang cukup besar sementara perhatian terhadap kesejahteraan daerah sangat kurang.

Liberalisasi Migas

Ainul mengatakan, kebijakan dana bagi hasil (DBH) yang merupakan perimbangan keuangan antara daerah dengan pusat diatur dalam UU Nomor 33 tahun 2004 adalah imbas dari kebijakan liberalisasi sektor migas yang terbit tahun 2001.

“Di dalam undang-undang liberalisasi migas itu Pertamina bukanlah satu-satunya yang bergerak di sektor migas dari hulu hingga hilir. Dari eksplorasi hingga penjualan, Pertamina bersaing dengan perusahaan-perusahaan, investor asing atau swasta. Pemasukan dari sektor migas menjadi sangat minim dan berdampak pada dana bagi hasil,” urainya.

Di aturan dana bagi hasil pemerintah pusat mendapat 85 persen, 15 persen diberikan kepada daerah yang dibagi untuk propinsi 5 persen dan 10 persen dibagi rata ke kabupaten.” Ini kan sangat minim. Jadi ada ketidakberpihakan kebijakan pusat ke daerah bagaimana membangun wilayahnya menuju kesejahteraan,” kritiknya.

Islam

Menurut Ainul, untuk mengatasi problem kesenjangan pusat dengan daerah dari aspek ekonomi harus melihat pengelolaan sumber daya alam dalam kacamata Islam.

“Dalam kacamata Islam sumber daya alam termasuk migas adalah kekayaan yang merupakan milik umum, milik rakyat. Negara tidak berhak menswastanisasi atau memprivatisasi. Negara satu-satunya yang mengelola melalui perusahaan minyak negara,” jelasnya.

Rakyat juga harus dipahamkan tentang kepemilikan ini agar daerah tidak meminta porsi besar dengan alasan kekayaannya besar. “Kebijakan pengelolaan migas oleh negara harus berlandaskan pada kebutuhan daerah bukan berdasar jumlah pemasukan dari daerah. Dengan begitu tidak ada kesenjangan pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain,” imbuhnya.

Ainul menilai, ekonomi Islam memiliki kebijakan yang berpihak kepada pembangunan kesejahteraan rakyat dengan pola pandang sumber daya alam adalah milik umum dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

“Kalaupun ada kontrak dengan perusahaan asing atau swasta kontraknya bukan kontrak kerja sama atau investasi tetapi kontraknya ketika negara membutuhkan ala-alat yang mereka miliki sementara negara belum memiliki. Jadi hukumnya terkait sewa,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *