Proses Pengambilan Keputusan Era Jokowi-Ma’ruf Cenderung Menyimpang

Mediaumat.id- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan proses pengambilan keputusan era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf (2019-2024) cenderung menyimpang. “Proses pengambilan keputusan di era 2019-2024 ini memang saya kira cenderung menyimpang,” tuturnya dalam Diskusi Online Media Umat: KUHP Disahkan untuk Siapa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (11/12/2022).
Menurut Lucius, dengan kuatnya koalisi partai pendukung pemerintah di DPR membuat hampir semua kebijakan penting yang diputuskan oleh DPR otaknya ada di pemerintah. DPR tinggal ketuk palu saja, hanya formalitas.
“Yang melakukan sosialisasi RKUHP lebih maksimal itu pemerintah. Meski kita tidak pernah melihat semakin banyak orang tercerahkan dengan isi pasal-pasal RKUHP ini. Yang kita lihat justru banyak masyarakat protes setelah RUU disahkan. Lalu apa artinya sosialisasi yang dikatakan sudah ke penjuru Indonesia,” herannya.
Lucius menilai fungsi keterwakilan DPR tidak tampak dalam pembahasan rancangan undang-undang karena format pengambilan keputusan diserahkan kepada fraksi. “Asal fraksinya sudah setuju suara anggota menjadi tidak penting lagi,” tukasnya.
Ia lalu mempertanyakan bagaimana bisa da 575 anggota mewakili rakyat dari dapil masing-masing yang bisa jadi memiliki pendapat yang berbeda pada proses pengambilan keputusan penting, lalu pengesahannya hanya diserahkan pada kehadiran fraksi.
“Kalau begitu, semestinya enggak perlu sampai 575 orang anggota DPR. Kita tinggal memilih partai, lalu partai saja yang bertarung tidak perlu menghabiskan banyak anggaran untuk kegiatan anggota DPR yang tidak punya dampak apa-apa bagi rakyat di penghujung proses pengambilan keputusan. Apalagi partai di bawah tekanan koalisi dan koalisi satu geng dengan pemerintah,” kesalnya.
Sehingga, lanjutnya, untuk rancangan undang-undang yang pemerintah punya kepentingan untuk segera menyelesaikannya, undang-undang itu bisa disahkan oleh DPR dalam waktu yang sangat cepat seperti undang-undang IKN, Omnibus Law dan lainnya.
“Saya kira elite ini sedang bekerja untuk memastikan cengkeraman kekuasaan mereka itu tetap menggunakan istilah demokrasi tapi mereka sedang ingin membangun kekuatan untuk menunjukkan dirinya cenderung semakin otoritarian dengan menggunakan undang-undang sebagai instrumen. Kalau dulu di orde Baru dengan tentara, sekarang pakai undang-undang,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun