MediaUmat – Praktik curang mencampur besar premium dengan beras SPHP lalu menjualnya dengan harga yang tinggi sebagaimana yang terungkap beberapa waktu lalu, menurut Peneliti Forum Analisis dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak, mencerminkan pelanggaran prinsip ekonomi syariat, khususnya larangan gharar (penipuan) dan tadlis (menyembunyikan cacat barang).
“Itu mencerminkan pelanggaran prinsip ekonomi syariat, khususnya larangan gharar dan tadlis,” jelasnya kepada media-umat.com, Selasa (6/7/2025).
Islam, jelas Ishak, memandang sistem ekonomi sebagai bagian dari kehidupan yang harus berlandaskan pada keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab untuk melindungi kepentingan umat.
“Masalah ini (gharar dan tadlis pada beras) terjadi karena akar kapitalisme telah mengakar di negara ini,” ungkapnya.
Dalam sistem kapitalis, sebutnya, keuntungan materi merupakan hal yang paling dianggap penting, hingga pada akhirnya etika atau akhlak yang menjadi bagian dari syariat Islam dikesampingkan.
“Pelaku usaha yang minim akhlak memanfaatkan minimnya pengawasan untuk mencampur beras demi profit, tanpa mempedulikan dampaknya pada rakyat,” jelasnya.
Dari perspektif Islam, sebut Ishak, pemerintah adalah raa’in (penggembala) yang bertanggung jawab melindungi rakyat.
“Setiap kalian adalah penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya,” ujar Ishak mengutip sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Nah, sebut Ishak, kegagalan pemerintah dalam mengawasi rantai pasok beras menunjukkan kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan rakyat.
“Minimnya perlindungan konsumen adalah bukti bahwa sistem pengawasan saat ini tidak berjalan dengan baik,” tegas Ishak.
Apabila negara menerapkan sistem ekonomi dengan perspektif Islam ideologis, ungkapnya, maka kecurangan seperti ini tidak akan terjadi karena pemerintah akan memiliki tanggung jawab besar untuk menegakkan keadilan dan melindungi rakyat.
“Salah satunya adalah menerapkan sistem hisbah yang ketat. Dalam sistem ekonomi Islam, institusi hisbah bertugas mengawasi pasar agar tidak terjadi kecurangan, penimbunan, atau manipulasi harga,” kata Ishak.
Dalam Islam, beber Ishak, pemerintah harus membentuk badan pengawas independen yang memastikan kualitas beras sesuai standar dan harga sesuai ketentuan. Pelaku kecurangan harus dikenakan sanksi tegas (ta’zir) yang mencegah terjadinya kerugian masyarakat.
“Pemerintah juga berkewajiban mendidik rakyatnya termasuk pedagang agar memahami syariat Islam dalam berdagang, selalu menasihati mereka agar senantiasa bertakwa, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para Khulafaur Rashidun,” ungkap Ishak.
Ishak menambahkan, pemerintah di dalam Islam juga berkewajiban agar seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan dasarnya secara layak termasuk pangan.
“Namun yang menjadi masalah (dari sistem yang diberlakukan) saat ini, tidak ada mekanisme yang menjamin agar seluruh rakyat terjamin kebutuhan dasarnya,” sebutnya.
Pemerintah, sebutnya, selalu mengandalkan mekanisme pasar padahal tidak semua orang mampu membelinya.
“Kalaupun ada bantuan sosial hanya bersifat ala kadarnya yang sering kali dikaitkan dengan pencitraan politik,” pungkasnya.[] Fatih Shalahuddin
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat