Positioning Membaca Fenomena Menyalahkan Perlawanan!

Hubungan dengan mereka yang merampas tanah kaum Muslim dan menodai kesuciannya bukanlah hubungan persahabatan, kerja sama, dan perdamaian, melainkan hubungan jihad, perlawanan, dan pertahanan. Allah SWT berfirman:

﴿وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ﴾

Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 191).

Ini adalah ketentuan Islam yang tak terbantahkan. Namun, saat ini, kita mendengar suara-suara di dalam dan di luar kaum Muslim yang menyalahkan perlawanan dan menganggapnya bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan oleh pendudukan, seolah-olah algojo (orang-orang kafir) tidak bersalah, sedang korban (kaum Muslim) adalah yang bersalah! Fenomena ini bukan sekadar penyimpangan dari kompas pemikiran dan moral, melainkan mencerminkan pola psikologis dan politik yang kompleks yang perlu dijelaskan dan dipahami.

1- Dimensi Psikologis: Ilusi Keadilan dan Pereda Kecemasan

Beberapa individu mencoba menjelaskan tragedi ini dengan cara yang membuat mereka merasa dunia ini “adil” dan Barat memiliki nilai-nilai selain materialisme. Mereka berkata, “Jika perlawanan tidak melakukan itu, maka ini tidak akan terjadi.” Penjelasan ini memberi mereka ilusi kendali dan kepuasan psikologis, bukannya menghadapi kenyataan mengerikan, yaitu bahwa musuh mampu melakukan kebrutalan yang tak terbatas dan tak beralasan.

Menghadapi pendudukan yang didukung kekuatan besar juga akan menciptakan ketidakberdayaan psikologis yang luar biasa, sehingga beberapa orang terpaksa menyalurkan amarah mereka kepada pihak terdekat (perlawanan), karena menghadapinya menimbulkan risiko psikologis yang lebih kecil dibandingkan menghadapi pendudukan itu sendiri. Di saat-saat terjadi bencana, orang-orang mencari penyelamat atau orang yang suka menyalahkan untuk meredakan kecemasan mereka dalam menghadapi kegelisahan, teror, dan keputusasaan.

2- Dimensi Sosial: Akumulasi Kelemahan dan Mentalitas Kalah

Puluhan tahun pendudukan, pengepungan, dan kegagalan para penguasa Arab telah menciptakan pola sosial normalisasi dengan kelemahan. Beberapa orang mulai percaya bahwa perdamaian dengan pendudukan dan legitimasinya atas pendudukan lebih baik daripada membayar harga perlawanan! Akibat pendudukan dan kebrutalan yang berkepanjangan, maka muncullah apa yang disebut “mentalitas kalah”, di mana musuh dipandang sebagai kekuatan absolut dan tak terkalahkan. Inilah yang coba ditanamkan oleh rezim-rezim fungsional di negeri-negeri Muslim, dengan mengalihkan kesalahan kepada diri mereka sendiri, bukan kepada musuh mereka.

Dalam suasana perpecahan internal, sebagian orang menganggap perbedaan partisan sebagai pembenaran untuk menganggap perlawanan bertanggung jawab atas tragedi dan genosida, bukan pendudukan.

3- Dimensi Media dan Politik: Rekayasa Narasi dan Distorsi Kompas

Mesin media massa pendudukan yang masif berupaya menjelek-jelekkan perlawanan dan gerakan bersenjata, menampilkan mereka sebagai biang keladi bencana bagi Gaza dan kawasan. Meski pemboman, pembunuhan, genosida, dan adegan-adegan mengerikan yang berulang, namun narasi ini merasuk bahkan ke dalam diri beberapa korban itu sendiri.

Lebih lanjut, pendudukan bergantung pada strategi untuk meningkatkan biaya perlawanan bagi masyarakat. Seiring dengan meningkatnya kerusakan, pembunuhan, dan pengungsian, tekanan internal terhadap masyarakat untuk menolak pilihan jihad pun meningkat. Di sini, situasinya bukan lagi kebencian terhadap perlawanan dan jihad, melainkan ketidakmampuan untuk menanggung biayanya.

4- Dimensi Pragmatis: Pencarian Solusi Segera

Ada pula yang secara ideologis menganut gagasan jihad, tetapi dalam praktiknya, ketika melihat harga yang mahal, mereka mencari solusi segera dan keselamatan segera dengan menghentikan pengeboman dengan cara apa pun, meskipun hal ini tampak sebagai penolakan terhadap perlawanan. Orang-orang tidak mengingkari hak untuk melawan, tetapi mereka lebih memilih untuk mengatasi rasa sakit yang mendesak daripada berpegang teguh pada pilihan perlawanan, pembebasan, atau kemerdekaan  yang berjangka panjang dan mahal.

Terakhir: Antara Memahami dan Menjaga Kompas

Menganalisis fenomena ini bukan berarti membenarkannya, melainkan mencoba memahaminya dalam dimensi psikologis, sosial, dan politiknya. Sementara yang dibutuhkan adalah kita menjaga kompas pemikiran dan moral kita, dengan dibimbing oleh iman dan hukum-hukum yang berasal darinya, serta berpegang teguh pada pilihan jihad. Kaum kafir pendudukan bertanggung jawab pertama atas setiap kejahatan, sedang rezim-rezim fungsional Sykes-Picot yang bertanggung jawab kedua atas pembenaran kejahatan mereka, mengecewakan rakyat Palestina, dan mencegah tentara Muslim menolong mereka. Perlawanan tetap menjadi pilihan alami untuk pembebasan. Sedangkan dari perspektif hukum Islam, ketika kita membahas kesalahan perlawanan di lapangan secara politik, atau kesalahan mujahidin dan beberapa tindakan atau sikap mereka, pemahaman tetap diperlukan, analisis diperlukan, akuntabilitas wajib, dan kritik diperlukan, yang semua itu untuk kemajuan. Namun, keselarasan akidah, sikap pemikiran dan moral yang tepat, serta mempertahankan kompas yang kokoh, jauh lebih penting, agar kita tidak terjebak dalam menyalahkan korban dan membebaskan algojo, sang pembantai. [] Dr. Asyraf Abu Athaya

Sumber: alraiah.net, 24/9/2025.

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

 

Share artikel ini: