Polri Rekut 57 Pegawai yang Dipecat KPK, Prof. Suteki: Permainan Politik Tingkat Dewa

Mediaumat.news – Pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menyebut akan merekrut pegawai KPK yang dipecat untuk menjadi ASN di Bareskrim Polri dinilai sebagai permainan politik tingkat dewa. “Ini lebih bisa dipandang permainan politik tingkat dewa,” ujar Pakar Hukum Prof. Dr. Suteki kepada Mediaumat.news, selasa (5/10/2021).
Menurut Prof. Suteki, blunder kebijakan memberhentikan 57 pegawai KPK tersebut akan berakibat buruk terhadap kebijakan Jokowi berikutnya. Ia memandang, jika ukurannya adalah tes wawasan kebangsaan (TWK), mestinya di Polri 57 pegawai KPK itu juga tidak bisa diterima sebagai Aparat Sipil Negara (ASN). Karena menurut pihak KPK, ke-57 orang itu tidak bisa dibina lagi.
Prof. Suteki menilai, tujuan utama pemberhentian 57 pegawai KPK itu adalah pelemahan KPK dalam pemberantasan korupsi, dengan dalil radikalisme atau ektremisme 57 pegawai tersebut. Sebab kalau ujung-ujungnya jadi ASN di Polri dan menangani kasus korupsi mengapa mesti dikeluarkan dari KPK.
Prof. Suteki mengungkapkan, dulu pemberantasan korupsi dimulai dari Polri, sebelum sebagian bergeser ke KPK, khususnya kasus besar (kerugian negara 1 miliar ke atas). Bagi pejabat tinggi negara yang korup, adanya KPK mengancan rencana kejahatannya. Sebab pegawai KPK yang punya komitmen ulung dalam pemberantasan korupsi justru berbahaya. Ibarat memelihara macan di rumah, sulit dikendalikan bahkan oleh pimpinan KPK sekalipun. Maka, satu-satunya jalan adalah menyingkirkan mereka degan dalih alih status pegawai KPK menjadi ASN dengan filter tes wawasan kebangsaan.
Prof. Suteki juga membeberkan, di balik pemecatan ke-57 pegawai KPK tersebut adalah persoalan politik yang mengangkangi hukum, atau bisa dikatakan ada eksploitasi hukum untuk kepentingan politik kekuasaan.
Prof. Suteki menduga, banyak vested interest (kepentingan pribadi) di balik pemecatan 57 pegawai KPK tersebut. Menurutnya, kepentingan itu tak lain adalah kepentingan oligarkis “peng-peng” (penguasa dan pengusaha). Mereka kemungkinan besar berkonspirasi sejak pemerintahan daerah hingga pusat.
Mengingatkan pernyataan Menkopolhukam, dan juga ICW, Prof. Suteki mengatakan 60 sampai 80 persen pilkada diongkosi oleh cukong. Maka timbul pertanyaan, apakah hal ini juga terjadi saat pilpres?
“Oleh karena itulah dengan segala cara apa pun KPK mesti dilemahkan, termasuk ‘membinasakan’ pegawai militan KPK sebanyak 57 orang tersebut karena mereka dapat mengancam para penguasa dan pengusaha korup,” pungkasnya.[] Agung Sumartono