Setelah menerima banyak respon negatif, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) akhirnya membatalkan rencana rumah subsidi mini. Keputusan ini pun diapresiasi luas oleh masyarakat, termasuk DPR, para pengembang, dan kalangan profesional. Sebelumnya Menteri PKP Maruarar Sirait mengusulkan kebijakan agar rumah mini berukuran 18 m2 dapat dimasukkan dalam kategori rumah penerima subsidi pemerintah. Kementerian PKP pun mengeluarkan draft aturan yang menurunkan batas minimal luas yang boleh menerima subsidi dari sebelumnya luas lantai rumah minimal 21 m2 menjadi 18 m2 dan luas tanah minimal 60 m2 menjadi 25 m2.
Sedianya kebijakan memangkas luasan rumah subsidi ini bertujuan untuk mengatasi backlog perumahan yang sangat tinggi. Dengan begitu, rumah berukuran mini yang biaya pembangunannya tentu lebih murah dapat dibangun lebih banyak karena adanya legitimasi aturan. Permintaan masyarakat pun dapat didorong dengan adanya janji subsidi dari Pemerintah. Saat ini menurut Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah, data backlog perumahan atau kesenjangan antara jumlah rumah yang tersedia dengan yang dibutuhkan pada tahun 2025 mencapai 15 juta unit (kabarbisnis.com, 22/04/2025). Sulitnya masyarakat memiliki rumah diperparah dengan tingginya harga tanah di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Selain untuk mengurangi backlog perumahan, secara politik Menteri PKP dikejar target program 3 juta rumah yang dijanjikan Presiden Prabowo pada masa kampanye Pilpres 2024 lalu.
Di satu sisi kebijakan ini dianggap sebagai terobosan untuk memenuhi kebutuhan hunian generasi muda khususnya di perkotaan. Kementerian PKP awalnya mewacanakan rumah subsidi mini tersebut untuk menyasar kaum lajang dan pasangan muda. Model rumah ini menjadi opsi tambahan untuk memperluas akses bagi masyarakat perkotaan yang sangat terbatas akan lahan. Nantinya masyarakat akan memiliki pilihan apakah membeli rumah subsidi dengan luas standar namun terletak di pinggiran kota atau rumah mini namun dekat dengan pusat aktivitas kerja. Daerah yang disasar target kebijakan ini meliputi wilayah Kota Metropolitan seperti kawasan aglomerasi Jabodetabek. Saat ini pun secara komersial sudah ada yang menawarkan konsep rumah dengan ukuran sangat kecil. Lippo Group, misalnya, telah membuat mock-up dan memamerkan model rumah dengan luas 14 m2 yang berdiri di atas tanah 25 m2. Meski berukuran mini, rumah tersebut telah memiliki ruang tamu, wastafel dan dapur yang digabung, kamar mandi dengan kloset duduk, serta kamar tidur. Rumah tersebut ditawarkan oleh Lippo dengan harga mulai Rp 100 juta per unit.
Namun di sisi lain ada persoalan kelayakan yang mendapat perhatian serius. Banyak kalangan menganggap ukuran 14 m2 – 18 m2 kurang manusiawi bagi skala keluarga kecil. Banjir kritik datang dari berbagai lapisan masyarakat, profesional, asosiasi keahlian seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), hingga DPR RI. Selain itu, ukuran tersebut dinilai melanggar standar kelayakan hunian yang dikeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Merujuk pada SNI, setidaknya luas lantai per orang dewasa adalah 9,6 m2 dan per anak 4,8 m2. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka luas minimal berkisar antara 28,8 m2 hingga 38,4 m2. Itupun baru luas lantai utama, belum memasukkan luasan lantai pelayanan. Tampak bahwa ukuran rumah mini sebesar 14 m2 – 18 m2 masih jauh dari standar kelayakan. Dari aspek kesehatan dan psikologi, ketiadaan zona privat, minimnya sirkulasi udara dan ruang servis mempengaruhi kualitas hidup karena memiliki keterbatasan daya dukung terhadap aktivitas mulai dari tidur, masak, mandi, mencuci, hingga bersantai. Oleh karenanya banyak yang meminta Pemerintah lebih mengedepankan pembangunan rumah vertikal dengan tetap menjaga standar luas minimal ketimbang rumah mini bersubsidi.
Tingginya backlog perumahan di Indonesia bukanlah persoalan sederhana karena berkaitan dengan banyak persoalan lainnya yang membelit masyarakat. Harga tanah yang terus melambung tinggi di perkotaan lebih menguntungkan kaum pemodal dalam sistem ekonomi pasar liberal ketimbang masyarakat kecil. Sistem agraria saat ini pun belum mampu secara sistematis mendistribusikan kepemilikan lahan dengan adil. Faktor-faktor ini berkelindan dengan semakin turunnya daya beli masyarakat, yang dipicu oleh menjamurnya PHK dan mengerutnya kesempatan kerja sehingga memicu tingginya pengangguran yang akhirnya meningkatkan angka kemiskinan dan menyebabkan terus menyusutnya kelas menengah. Ancaman lain datang dari jerat bunga bank untuk kredit perumahan. Bagi masyarakat kecil, jangankan membeli rumah, untuk urusan dasar seperti makan, pakaian, pendidikan dan kesehatan saja masih sulit terpenuhi bagi diri dan keluarga mereka. Akibatnya meski tersedia rumah subsidi dengan bantuan kredit dari Pemerintah, tetap saja masih banyak masyarakat yang tidak mampu memiliki rumah. Kondisi ini terkonfirmasi oleh data dari Kementerian PUPR Tahun 2024 dimana ada sebanyak 60% – 80% rumah bersubsidi yang masih kosong tidak dihuni (kompas.com, 20/09/2024).
Oleh karenanya, upaya menyelesaikan tingginya backlog perumahan tidak cukup hanya dengan menyediakan sebanyak mungkin rumah. Apalagi perbanyakan jumlah rumah tersebut dilakukan dengan mengorbankan standar kelayakan hunian yang berarti dapat mendegradasi martabat manusia dan kualitas kehidupannya. Disamping memperhatikan kelayakan rumah, perbaikan lainnya harus dilakukan secara lebih sistematis. Menyasar perbaikan pada sistem ekonomi yang saat ini berideologi kapitalistik, membentuk sistem agraria yang adil, membuka kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan, hingga penyediaan jaminan sosial. Dalam hal ini, konsep-konsep yang terkandung dalam ajaran Islam berikut memberikan tawaran solusi.
Dalam hal ukuran, syariat Islam memang tidak mengatur detail seberapa luas minimal hunian yang dianggap layak. Meski ada hadits yang menyebutkan bahwa tempat tinggal yang luas merupakan salah satu yang mendatangkan kebahagiaan, namun rumah yang tidak luas bukanlah suatu celaan. Rumah Nabi pasca hijrah ke Madinah sendiri tidaklah tergolong luas. Begitu juga halnya dengan rumah bagi masing-masing istri beliau. Beliau merasa cukup dengan kondisi rumah yang sederhana, namun telah mampu memenuhi berbagai kebutuhan beliau. Meskipun begitu, syariah juga tidak menafikkan perhitungan berdasarkan keahlian dan ilmu pengetahuan yang mengkuantifikasikan kelayakan tempat tinggal seperti SNI yang mempertimbangkan aspek kebutuhan udara segar per orang, tinggi plafon rumah, kemampuan rumah menampung ragam aktivitas normal manusia, serta ketersediaan ruang untuk layanan.
Al-Quran sendiri menyebutkan rumah sebagai salah satu dari nikmat Allah SWT yang dijadikan-Nya sebagai tempat bernaung, menetap, dan tempat yang memberikan ketenangan lahir dan batin (lihat tafsir Q.S. An-Nahl; 80). Ketenangan lahir didapat dengan adanya perlindungan dari kerasnya alam (panas, dingin, angin, hujan), musuh, dan binatang buas. Sementara ketenangan batin diperoleh dari terjaganya martabat, berkumpulnya keluarga, mudahnya beribadah, dan terjaganya aurat. Jika suasana tersebut tidak dapat hadir dari rumah dengan ukuran tertentu, maka dapat dikatakan rumah tersebut belum layak. Akan tetapi, meski rumah tersebut luas namun tidak mampu mewujudkan amanat syara seperti menjaga aurat penghuni karena desainnya yang terbuka maka rumah tersebut juga termasuk tidak layak dilihat dari sisi desainnya.
Selain urusan luas dan desain, dalam skala yang lebih luas, kebutuhan masyarakat akan perumahan mensyaratkan kehadiran Pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab mengurusi hajat mendasar rakyatnya.
Sabda Nabi SAW berikut menunjukkan bahwa dalam konsep pengurusan masyarakat, rumah hunian merupakan salah satu kebutuhan asasi selain sandang dan pangan :
”Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air.” (HR at-Tirmidzi).
Disana dijelaskan mengenai hal apa saja yang ditetapkan menjadi hak dasar manusia. Kehidupan manusia bergantung terhadap tiga jenis barang tersebut. Meliputi tempat tinggal (papan), pakaian (sandang), dan makanan minuman (pangan). Agar terpenuhi dengan sempurna, upaya pemenuhan ketiga kebutuhan asasi ini tidak sebatas pada ketersediaan zat makanan, pakaian dan tempat tinggal saja. Melainkan juga mencakup berbagai hal yang berkaitan untuk merealisasikan kebutuhan tersebut seperti adanya dukungan hukum dan aturan main, kesadaran masyarakat, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung, personil aparat serta anggaran pemerintah.
Oleh karenanya, di antara bentuk pelaksanaan tanggung jawab Pemerintah diawali dengan mendorong dan mengingatkan para kepala keluarga akan kewajiban mereka untuk menyediakan hunian bagi keluarganya. Penyediaan rumah dapat dilakukan dengan membangun sendiri, membeli, menyewa, dari hibah atau warisan sesuai dengan kemampuan si Kepala Keluarga. Perintah Allah SWT kepada kepala keluarga:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal sesuai dengan kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (TQS ath-Thalaq [65]: 6)
Selain mendorong menyediakan rumah, Pemerintah dapat memberi sanksi dan memaksa dengan kekuatan hukum dan kekuasaan terhadap Kepala Keluarga jika dengan sengaja – padahal ia punya kemampuan – melalaikan kewajiban menyediakan rumah bagi tanggungannya. Kepala keluarga dianggap bersalah atas kesengajaannya tersebut karena Nabi SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa ketika dia menahan nafkah dari orang yang menjadi tanggungannya” (HR Muslim).
Iklim ekonomi yang sehat penting terjaga agar rakyat memiliki penghasilan yang cukup sehingga mampu membeli atau menyewa rumah. Daya beli masyarakat dapat dijaga oleh Pemerintah dengan memfasilitasi ketersediaan lapangan kerja, diantaranya dengan mendorong sektor riil hidup, dan melarang sektor non riil. Untuk mengungkit produktivitas, Pemerintah dapat saja memberikan pendidikan dan pelatihan hingga pinjaman modal bagi kegiatan wirausaha. Praktik ribawi dalam jual-beli kredit perumahan harus dilarang. Selain berakibat dosa besar, praktik ini telah menghambat kepemilikan rumah bagi banyak orang.
Sistem agraria harus didesain mengikuti aturan Islam, sehingga mampu menghilangkan monopoli penguasaan lahan luas oleh segelintir orang atau korporasi. Saat ini harga tanah yang sangat mahal diakibatkan oleh monopoli pihak tertentu atas sebagian besar lahan-lahan perumahan. Pengaturan lahan dilakukan dengan memonitor pengelolaan lahan agar produktif. Jika terdapat lahan yang ditelantarkan selama tiga tahun, tanah-tanah tersebut akan disita Pemerintah untuk kemudian diberikan kepada mereka yang mampu mengelolanya. Dengan begitu distribusi tanah akan merata dengan diberinya kesempatan kepada mereka yang mampu mengolah tanah. Tanah-tanah tersebut dapat digunakan sebagai lahan produktif ataupun lahan hunian.
Dalam penyediaan perumahan, pihak swasta sah saja terlibat. Pemerintah boleh saja mendukung developer dengan kerjasama, supervisi ataupun permodalan. Namun pemerintah tetap tidak boleh kehilangan kemampuannya mengendalikan suplai rumah yang terjangkau dan memiliki kemampuan menyediakan rumah secara langsung jika memang dibutuhkan. Jangan sampai sepenuhnya mengandalkan swasta atau pun bersikap diskriminatif hanya berpihak pada developer tertentu yang merupakan relasi dekat pejabat dan penguasa.
Agar masyarakat yang membangun rumah tidak terbebani membangun infrastruktur pendahuluan beserta sarana prasarananya, Pemerintah harus sigap menyediakan fasilitas publik termasuk infrastruktur untuk seluruh rakyat tanpa melihat kaya dan miskin, seperti jalan-jalan utama dan sekunder, listrik, telekomunikasi, jaringan air minum, dan jaringan air limbah. Bentuk dukungan lainnya adalah supervisi pada proses perencanaan pembangunan rumah. Dalam hal keamanan misalnya, pengaturan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) harus sudah mengadopsi ketentuan yang tanggap bencana. Zonasi yang berbahaya karena rentan bencana, harus diberikan panduan baik berupa jenis konstruksi yang digunakan maupun batasan aktivitas yang diperbolehkan. Tidak boleh terjadi dharar (bahaya) menimpa penghuninya, seperti roboh karena bahan bangunan tidak berkualitas atau dibangun di daerah berbahaya dan labil seperti area longsor, bantaran sungai, atau area rawan banjir. Rasulullah SAW. berpesan, “Tidak boleh ada dharar (bahaya) dan tidak boleh ada yang membahayakan (baik diri sendiri maupun orang lain).” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Daruquthni). Selain itu, supervisi dalam perencanaan pembangunan rumah juga mesti mencakup aspek pemenuhan akan tuntutan syariat baik dari segi fungsi dan model bangunan rumah, pemenuhan aspek kesehatan dan juga kenyamanan.
Jika para kepala keluarga termasuk orang yang tidak mampu (fakir/miskin) atau memiliki keterbatasan fisik baik karena cacat ataupun sakit, Pemerintah dapat memberikan bantuan langsung kepada mereka yang membutuhkan. Bantuan dapat berupa pemberian lahan yang dapat digunakan untuk membangun rumah sebagaimana kebijakan Nabi SAW yang pernah memberikan lahan kepada para sahabat. Bantuan dapat juga berupa insentif yang secara tidak langsung menguatkan kemampuan memiliki hunian. Misalnya Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah memberi bantuan dari Baitul Mal untuk petani di Irak agar usaha mereka dapat maju dan berhasil. Dengan begitu masyarakat memiliki modal dan penghasilan yang memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasar seperti rumah. Skema lainnya adalah pemberian subsidi dan kredit tanpa bunga, diberikan kepada masyarakat untuk membeli atau menyewa rumah. Selain bentuk-bentuk di atas, Pemerintah juga dimungkinkan untuk memberikan atau membangunkan rumah secara cuma-cuma kepada mereka yang memang tidak mampu membeli rumah.
Bantuan Pemerintah dengan model seperti di atas tentu hanya dapat dilakukan jika memiliki legitimasi politik yang bersandar pada syara dan ditopang kekuatan anggaran dengan sumber pendanaan yang kuat. Kemampuan ini dapat terealisasi jika didukung oleh sistem ekonomi Islam lainnya berupa pengelolaan sumber daya alam, sistem moneter, pengelolaan harta milik umum, pengaturan industri, kebijakan baitul mal, dan lainnya. Kemampuan sistematis inilah yang menjadi jawaban untuk mewujudkan jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat.[]
Muhammad K (Founder ISGOV – Islamic Governance Initiative)
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat