MediaUmat – Pembebasan bersyarat, pengurangan masa hukuman, hingga amnesti yang diberikan kepada para koruptor, menurut Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan membuktikan komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama ini patut untuk dipertanyakan.
“Komitmen pemerintah, pemerintahan Prabowo, untuk memberantas korupsi itu layak dipertanyakan,” ujarnya kepada media-umat.com, Senin (25/8/2025).
Bahkan, menurutnya, pengampunan terhadap terdakwa atau remisi maupun pembebasan bersyarat terhadap terpidana kasus tindak pidana korupsi, semakin menegaskan hukum saat ini berlaku ‘tumpul ke atas’.
“Siapa yang punya akses ke berbagai aparat penegak hukum atau yang punya jejaring kekuasaan, maka dia selalu mendapatkan perlakuan khusus,” ungkapnya, seraya menekankan bahwa fakta-fakta tersebut sangatlah mencederai rasa keadilan.
Adalah berita terbaru, pengampunan diberikan oleh pemerintah kepada Hasto Kristiyanto, terdakwa kasus suap terkait perkara dugaan korupsi Harun Masiku, yang sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara. Juga pembebasan bersyarat atas Setya Novanto, terpidana kasus megakorupsi e-KTP yang merugikan keuangan negara senilai triliunan rupiah.
Padahal, korupsi sering kali dianggap sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Hal ini karena dampaknya yang sangat merusak dan meluas, tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga pada kehidupan sosial dan politik suatu negara.
Karenanya, Fajar berharap, hukuman para koruptor juga luar biasa dan tak terkesan main-main. Sehingga pembebasan bersyarat, pengurangan masa tahanan, terlebih pengampunan, menjadi tak relevan untuk diberikan.
Tak hanya itu, kasus-kasus serupa yang nilai kerugian negara ratusan hingga ribuan triliun pun harusnya tuntas menjerat para aktor utamanya. Sebutlah drama penanganan kasus korupsi timah Rp271 triliun yang terungkap pada 2024, maupun dugaan kasus korupsi Pertamina Patra Niaga yang merugikan keuangan negara hampir Rp1000 triliun, tak membuat sebagian besar publik merasa puas.
Menjadi tak biasa, menurut Fajar, karena penanganan kasus-kasus besar tersebut didominasi oleh kejaksaan, bukan KPK yang perannya selama ini dinilai justru dilemahkan melalui berbagai revisi undang-undangnya. Tak ayal, efek jeranya pun menjadi semakin kabur, bahkan hilang.
Harus Perkuat KPK
“Kalau pemerintah betul-betul komitmen untuk memberantas korupsi maka seharusnya langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperkuat KPK sebagai salah satu institusi penegak hukum yang dibentuk atau yang latar belakang pembentukannya itu memang untuk memberantas korupsi,” tuturnya.
Penting diingat, tegas Fajar, alasan dibentuknya KPK karena lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian dan pengadilan umum dipandang tak mampu menjangkau secara menyeluruh kasus-kasus korupsi.
Oleh karena itu, sebut Fajar, saat ini tergantung pemerintah sendiri. Menguatkan KPK dengan yang sebenarnya, atau malah sebaliknya.
“Kalau memang dianggap peristiwa korupsi di Indonesia ini masih sangat mengkhawatirkan dan itu tercermin dari indeks persepsi korupsi yang kita tidak pernah naik, maka seharusnya ya (berdirinya) KPK itu masih relevan,” tuturnya kembali tentang langkah awal penguatan KPK.
Berikutnya, serius pula memberlakukan hukuman berat kepada siapa saja para pelaku korupsi. “Kalau memang pemerintah serius maka hukuman para koruptor ini tidak boleh pandang bulu, dan harus tegas,” harapnya.
Dan yang tak kalah penting, beber Fajar, tercermin dalam program pemerintah strategi pencegahan dengan membangun sistem dan kesadaran yang baik, termasuk di lembaga-lembaga pengawasan dan instansi lainnya.
Selain komitmen memberantas korupsi dan peningkatan kontrol masyarakat, juga diperlukan perombakan sistem yang mendasarinya. “Di sinilah memang juga perlu perombakan sistem yang mendasar,” tegasnya.
Adalah demokrasi, selain merupakan sistem politik sangat mahal, sistem ini membuka peluang kepada pihak-pihak yang ingin melakukan apa yang disebut investasi politik, yang bentuknya bisa beragam, mulai dari donasi kampanye, lobi langsung, hingga pembiayaan proyek-proyek yang bersifat politis.
Artinya, selama negeri ini menggunakan sistem demokrasi, maka sepanjang itu pula akan selalu terjadi kasus korupsi. “Selama kita masih menggunakan sistem politik demokrasi, saya kira sepanjang itu pula akan selalu terjadi kasus-kasus atau peristiwa korupsi,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat