Pidato ‘Solusi Dua Negara’ Prabowo, Bertentangan dengan Prinsip Anti-penjajahan

MediaUmat – Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang intinya menyatakan Indonesia akan segera mengakui dan mendukung semua jaminan keamanan negara Israel asalkan Zionis Yahudi mengakui kemerdekaan negara Palestina, menurut Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi, bertentangan dengan prinsip anti-penjajahan yang sudah menjadi prinsip dasar politik luar negeri Indonesia.
“Pengakuan terhadap penjajah bertentangan dengan prinsip anti-penjajahan yang sudah menjadi prinsip dasar politik luar negeri Indonesia,” ujarnya kepada media-umat.com, Selasa (23/9/2025).
Maka, jelas Farid, pengakuan terhadap Israel sebagai sebuah negara tidak bisa diterima dengan syarat apa pun, termasuk syarat Israel mengakui Palestina.
“Karena hal ini berarti pengakuan terhadap penjajah yang telah merampas tanah Palestina dan legitimasi terhadap kekejaman Zionis termasuk melakukan genosida,” terang Farid.
Solusi dua negara, tegas Farid, adalah solusi lemah karena justru melegitimasi penjajahan sekaligus solusi semu karena Israel sudah bertekad untuk tidak mengakui Palestina.
Menurutnya, solusi dua negara yang mengakui keberadaan Palestina sebagai sebuah negara lebih kepada solusi simbolis yang tidak menghentikan sama sekali kejahatan penjajah Yahudi, pengakuan negara Palestina sudah ada sejak tahun 1988.
Palestina menyatakan kemerdekaannya lewat Deklarasi Kemerdekaan oleh Palestine National Council pada 15 November 1988 di Aljir. “Termasuk Indonesia paling awal sudah mengakui tahun 1988, tetapi terbukti tidak mencegah kejahatan Yahudi,” terangnya.
Menurut Farid, persoalan Palestina adalah penjajahan entitas Yahudi, yang akan selesai dengan mundurnya entitas Yahudi sebagai penjajah.
“Solusi konkret adalah menggerakkan tentara negeri-negeri Islam dan menyatukan negeri Islam di bawah naungan khilafah,” tegasnya.
Memahami Persoalan Palestina
Menurut Farid, untuk memahami persoalan Palestina secara utuh tentu harus memahami masalah negeri-negeri Muslim yang bermula sejak runtuhnya Khilafah Utsmani pada 1924 dan pembagian wilayah menjadi negara-negara kecil yang lemah termasuk Palestina.
“Pembagian itu membuka peluang kontrol penjajah (kafir) atas tanah-tanah Islam,” jelasnya.
Palestina, jelasnya, dirampas dan entitas Yahudi didirikan di sana dengan bantuan Inggris, kemudian diasuh oleh Amerika Serikat.
“Para penguasa Muslim (negara-negara kecil di atas reruntuhan Khilafah Utsmani) mengkhianati rakyat dengan mengukuhkan keberadaan entitas tersebut, melindunginya, dan menghalangi upaya pembebasan Palestina,” terangnya.
Farid pun mengungkapkan berbagai bentuk kerja sama rezim dengan entitas penjajah Zionis Yahudi. “Ada yang melindungi, ada yang menjalin perjanjian diplomatik secara terbuka, dan ada yang berhubungan secara tersembunyi,” jelasnya.
Sebagian rezim, sebut Farid, malah membawa masalah ke Dewan Keamanan PBB ketika rakyat Palestina melawan entitas penjajah, atau mengutuk perlawanan rakyat Palestina. Beberapa rezim ikut serta dalam pengepungan Gaza dan menandatangani Perjanjian Abraham (normalisasi).
“Semua rezim menahan tentara mereka di barak sehingga tidak membebaskan Palestina, bahkan melarang rakyat menyatakan penolakan terhadap pembantaian di Gaza,” ungkap Farid.
Menurut Farid, situasi para penguasa ini sangat tercela. “Mereka berkhianat terhadap umat dan rakyat Palestina!” tegasnya.
Ia optimis, opini publik global mulai berbalik menentang kejahatan entitas itu; umat Islam semakin sadar akan persoalannya.
Farid menegaskan, jalan keluar adalah bangkitnya kembali negara umat (khilafah) yang akan menjadi kekuatan nyata — politik dan militer — untuk menegakkan hak Palestina.
“Hizbut Tahrir menyatakan sedang memimpin langkah menuju tujuan itu dan memperingatkan bahwa keadaan penjajahan tidak akan bertahan selamanya,” pungkas Farid.[] Joko Prasetyo
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat