Petisi 100: Tak Ada Pejabat Persoalkan Dugaan Korupsi Whoosh
MediaUmat – Perwakilan Gerakan Petisi 100 Marwan Batubara menyayangkan tak ada satu pun pejabat negara di negeri ini yang mempersoalkan dugaan tindak pidana korupsi pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang kini dikenal dengan Whoosh.
“Tidak satu pun yang mempersoalkan dugaan KKN atau korupsi besar proyek KCJB,” ujarnya dalam siaran pers Skandal Dugaan Korupsi KA Cepat (1): Uang Negara Bukan Untuk Bayar Utang Najis! yang diterima media-umat.com, Rabu (22/10/2025).
Meski, di saat yang sama sikap sejumlah menteri terkait isu utang Whoosh yang terus bergulir cukup beragam, yakni ada yang pro Jokowi dan Cina sebagai pihak pemberi pinjaman, serta ada yang objektif penuh kehati-hatian, tetapi mereka lebih fokus pada objek seputar siapa dan bagaimana membayar utang yang ternyata mencapai ratusan triliun rupiah. Apakah lewat APBN, Danantara, atau BUMN.
“Mereka tidak peduli bahwa uang negara dan rakyat sudah dikorupsi, dan merasa tidak perlu pula membidik koruptornya,” ucap Marwan, kembali menyayangkan.
Dengan kata lain, proyek KCJB telah menjadi objek korupsi berikut biang utama tindak kejahatan sistemik ini ditengarai adalah Jokowi, presiden saat itu.
Salah satunya, mengutip pandangan Ekonom PEPS Anthony Budiawan, Marwan mengungkapkan, telah terjadi praktik mark-up sangat besar seputar harga lintasan yang jauh lebih mahal jika dibandingkan rerata biaya proyek yang sama di Cina, berkisar US$17 juta hingga US$30 juta per km.
Dari keterangan Direktur Keuangan KAI Salusra Wijaya saat RDP dengan Komisi VI DPR tahun 2021 yang lalu, misalnya, biaya proyek KCJB adalah US$8 miliar. Dengan demikian, biaya investasi lintasan rel dan rangkaian Electric Multiple Unit (EMU) proyek KCJB sebenarnya jauh lebih mahal dari rerata global, yakni US$8 miliar/142 km = US$56 juta per km.
Artinya, menjadi tak masuk akal jika kenaikan biaya melebihi jauh dari apa yang bisa dimaklumi dari kondisi politik dan “praktik bisnis” di Indonesia yang mungkin biasanya lebih mahal 20 hingga 30 persen.
“Jika kenaikan biaya tersebut mencapai dua hingga tiga kali lipat, maka kita hakulyakin terjadi kejahatan sistemik yang mengusik akal sehat dan mengundang kemarahan,” geramnya.
Dikabarkan sebelumnya, Menkeu Purbaya menolak pembayaran utang proyek KCJB. Sementara, CEO Danantara Rosan Roeslani mengaku secara internal masih mengevaluasi dan belum membahas solusinya dengan Kemenkeu. Sedangkan COO Danantara Dony Oskaria meminta pemerintah, melalui APBN, menambah modal KAI/PSBI.
Dalam hal proyek KCJB, PT KAI memimpin konsorsium Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) termasuk di dalamnya PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga dan PT Perkebunan Nusantara. PSBI pemegang saham mayoritas PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) sebesar 60 persen. Sedang sisa saham 40 persen KCIC dikuasai konsorsium Cina melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd. Total investasi untuk KCJB berasal dari Cina Development Bank (CDB) sebesar US$7,27 miliar.
Utang Najis!
Lantas mengenai utang ratusan triliun dari proyek Whoosh sendiri, Marwan menyebut sebagai utang najis. “Utang yang timbul akibat proyek (Kereta Cepat Whoosh) layak pula dikategorikan sebagai odious debt atau utang najis!” tulis Marwan, masih terkait gonjang-ganjing utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang kini berganti Whoosh yang terus bergulir.
Untuk diketahui, konsep utang yang diperkenalkan Alexander Nahum Sack, seorang ahli hukum Rusia pada 1927 dimaksud, merujuk pada rezim despotik yang berutang untuk memperkaya diri dan memperkuat rezimnya. Sehingga utang ini najis bagi semua warga negara.
Maka, konsep utang semacam itu tidak boleh dibayar oleh pemerintah penerus. Pasalnya, utang ini dianggap tidak sah karena selain tidak adanya persetujuan publik dan tidak memberikan manfaat bagi rakyat, utang ini dipinjam untuk keuntungan pribadi dan tidak memberikan manfaat bagi rakyat.
Dipaparkan, praktik KKN yang menimbulkan atau menyisakan utang najis dari pemerintahan sebelumnya (previous) kepada pemerintahan penerus (successor) telah terjadi di berbagai negara.
Dilansir merdika.id (6/1/2025) misalnya, Presiden Meksiko Benito Juarez (1861) menolak membayar utang yang diwariskan dari rezim diktator sebelumnya, Antonio Lopez de Santa Anna. Demikian juga Amerika Serikat (AS) menolak membayar utang yang dibuat oleh pemerintah kolonial Spanyol pasca mengambil alih Kuba pada tahun 1898.
Pada tahun 1921 pemerintah Soviet menolak membayar utang yang dibuat oleh Tsar Rusia dengan alasan bahwa utang tersebut dibuat tanpa persetujuan rakyat dan tidak menguntungkan mereka. Pun demikian yang terjadi di Ekuador pada tahun 2008 dan Mozambik pada tahun 2020.
Sehingga berkenaan dengan warisan utang rezim Jokowi ke Prabowo sebesar Rp8.502,69 triliun per 31 Juli 2024 sebagaimana dilansir tempo.co (24/9/2024), dan sebagiannya diperkirakan sebagai utang najis, di antaranya utang proyek KCJB, menurut Marwan, atas dasar alasan moral dan hukum tidak harus dibayar pemerintahan Prabowo.
Kendati demikian, tak bisa menggugurkan, bahkan sangat layak diproses secara hukum semua pihak yang diduga terlibat termasuk mantan Presiden RI ke-7 tersebut. “Proyek KCJB sangat layak diproses hukum,” pungkasnya, yang berarti hukum harus ditegakkan dengan mengadili mereka yang diduga terlibat.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat