Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dinilai Semu

MediaUmat –Merespons publikasi Badan Pusat Statistik (5 Mei 2025) yang menyebut Ekonomi Indonesia triwulan I-2025 terhadap triwulan I-2024 mengalami pertumbuhan sebesar 4,87 persen (y-on-y), Pakar Ekonomi Prof. Dr. Firman Menne, S.E., M.Si. menilai pertumbuhan tersebut sejatinya bisa dikatakan sebagai pertumbuhan yang semu.
“Itu sejatinya bisa juga dikatakan sebagai pertumbuhan yang semu,” ujarnya dalam Diskusi Publik: Ekonomi Tumbuh, Kesenjangan Tetap Tinggi: Kenapa? yang tayang di kanal YouTube Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA Channel), Rabu (2/7/2025).
Pertumbuhannya semu, sebut Firman, artinya pertumbuhan yang tidak merata kepada seluruh masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang menikmati pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Oktober 2019, ia mengutip, satu persen penduduk Indonesia itu menguasai hampir 50% aset bangsa ini. “Artinya, 99% itu memperebutkan sisanya,” lanjutnya.
Nah, menurut Firman, ini tentu sangat mengiris hati. Kenyataan ini terjadi di tengah-tengah masyarakat. Itu bisa dilihat dalam beberapa fragmentasi di lapangan.
Dalam pendekatan sistem, sebut Firman, sebetulnya memang ini dipengaruhi oleh adopsi terhadap sistem ekonomi kapitalisme atau ekonomi sekularisme yang memang bawaannya seperti itu.
Firman menilai, akses terhadap pendidikan, akses terhadap Kesehatan, akses terhadap modal usaha, dan teknologi itu biasanya lebih mudah diakses oleh orang-orang atau kelompok-kelompok orang-orang kaya.
Pertama, akses terhadap pendidikan, sekarang ini dengan UKT perguruan tinggi bukan hanya di swasta juga di perguruan tinggi negeri.
“Sehingga untuk melahirkan SDM yang unggul maka orang-orang miskin ini kemudian terkendala dari sisi pembayaran kecuali kalau penduduk yang kebetulan mendapatkan beasiswa dari pemerintah itu bisa. Tetapi kan tidak banyak juga kuota untuk mendapatkan beasiswa,” bebernya.
Menurut Firman, tentu ini akan berbanding terbalik dengan penciptaan kualitas sumber daya manusia di tengah masyarakat.
Kedua, akses kesehatan. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, sebut Firman, bahkan untuk mengakses jaminan kesehatan saja baik di Puskesmas ataupun di rumah sakit itu bagi masyarakat miskin itu sangat sulit.
Ketiga, akses modal usaha, yang selama ini menikmati pembiayaan-pembiayaan dari lembaga keuangan baik perbankan maupun nonbank itu yang dapat mengaksesnya adalah pengusaha-pengusaha yang kaya.
“Mereka menikmati aksesibilitas terhadap lembaga-lembaga keuangan sehingga mereka bisa memutar modal itu untuk kemudian mengembangkan usaha mereka,” ungkapnya.
Akibatnya tandas Firman, tentu saat ekonomi tumbuh mereka yang memiliki akses lebih luas dan memiliki akses lebih banyak tentu akan mendapatkan manfaat yang lebih banyak pula.
“Nah, inilah yang kemudian memicu terjadinya disparitas atau kesenjangan di tengah masyarakat antara orang kaya dan orang miskin sehingga bisa kita katakan orang kaya itu semakin kaya orang miskin itu semakin miskin,” pungkasnya.[] Muhammad Nur
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat